Industri Mebel Jepara Masih Terhambat Bahan Baku dan Regulasi
Pelaku industri furnitur berharap jangan sampai peluang ekspor bahan baku dibuka. Adanya usulan perluasan penampang ekspor kayu, akan membuat nilai tambah produksi tak didapat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Peningkatan mutu dan daya saing industri furnitur atau mebel di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, masih terhambat. Di hulu, jaminan ketersediaan bahan baku untuk jangka panjang belum terpenuhi. Sementara di hilir, sejumlah regulasi ekspor membuat produksi tak efisien.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara Raya Masykur Zainuri mengatakan, kalangan industri berharap jangan sampai peluang ekspor bahan baku dibuka. Saat ini memang belum ada ekspor bahan baku. Namun, usulan perluasan penampang ekspor kayu akan membuat nilai tambah produksi tak didapat.
”Dengan usulan perluasan ini, otomatis ekspor wood working makin besar. Ini banyak dibelokkan untuk orientasi bahan baku,” kata Masykur di sela-sela tinjauan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel di Jepara, Jumat (11/9/2020).
Masykur menuturkan, terkait informasi banyaknya bahan baku yang tak terserap, lebih akibat manajemen penebangan. Sementara dengan keunggulan ketersediaan bahan baku lokal, seharusnya kayu jangan sampai langsung dihabiskan. Jangan sampai hutan alam ini dibabat habis untuk kepentingan mencari uang secepatnya. Harus ada penapisan.
Menurut dia, kebutuhan bahan baku di Jepara berkisar 3.000-3.500 meter kubik per bulan, yang di antaranya terdiri dari mahoni dan jati. Ia berharap kebutuhan jangka panjang benar-benar dipikirkan sehingga ada keberlanjutan.
Persoalan lain, menurut Masykur, adalah terkait legalitas kayu yang seharusnya tidak dibebankan kepada para pelaku industri di hilir. ”Harapan kami, diberlakukan di hulu. Kami seharusnya terima kayu yang sudah siap produksi sehingga akan efisien dan kompetitif. Kami tak menentang SVLK (sistem verifikasi legalitas kayu), tetapi seharusnya voluntary (sukarela) bukan mandatory (kewajiban),” ujar Masykur.
Hal senada disampaikan pemilik CV Mandiri Berkah, Jepara, Nyatnyono (62). Menurut dia, salah satu kendala yang dihadapi terkait legalitas kayu, mereka mesti menyiapkan dokumen atau sertifikat.
”SVLK semestinya di hulu saja. Kami beli kan sudah legal, jadi produsen tinggal mengolahnya saja. Untuk ekspor sebenarnya (kayu) sudah bagus,” lanjutnya.
Sementara itu, Rachmat mengungkapkan, dirinya menghimpun masukan dari para pelaku industri mebel yang akan menjadi masukan bagi pemerintah. Menurut dia, yang perlu dibangun tak hanya iklim investasi untuk usaha besar saja, tetapi juga sektor mikro dan kecil.
Salah satunya pada industri furnitur atau mebel di Jepara yang berbasis ekspor. ”Saya dengar, misalnya ada bea masuk yang mesti dibayar saat mengimpor mesin. Hal tersebut mestinya dibebaskan karena orientasinya untuk ekspor,” katanya.
Ia juga mendorong terobosan-terobosan untuk memenuhi pasar dunia maupun domestik dalam industri mebel dan handycraft. Menurut Rachmat, industri kecil-menengah strategis karena setiap ada kenaikan 1 miliar dollar AS, akan ada serapan 100.000 pekerja.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jepara Ratib Zaini menuturkan, pihaknya menyiapkan empat titik pokok rencana industri, salah satunya industri furnitur atau mebel. Dengan demikian, diharapkan industri itu dapat terus menggeliat dan semakin meningkat untuk pasar ekspor maupun domestik.
Pada semester I-2020, nilai ekspor dari industri furnitur/mebel mencapai 98 juta dollar Amerika Serikat. ”Penurunan ekspor sendiri 8,99 persen sehingga diharapkan pandemi Covid-19 ini segera berakhir dan furnitur di Jepara meningkat,” ujarnya.
Selain pemanfaatan teknologi untuk peningkatan daya saing industri mebel, regenerasi pengukir di Jepara juga mesti diperhatikan. Terlebih, saat ini industri semakin kesulitan mencari tukang dan pengukir yang diperlukan guna meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan pasar.
Paidi (55), pengukir asal Desa Bawu, Kecamatan Batealit, Jepara, mengatakan, saat ini jumlah pengukir semakin berkurang karena banyak anak muda yang memilih kerja di pabrik. Oleh karena itu, harus ada upaya bersama agar ada regenerasi.
”Kalau bisa, ada tempat untuk mengukir. Sebab, sudah sangat jarang yang mau mengukir. Mestinya dibikin tempat bagus semacam sekolah. Di gudang tempat saya kerja saja, saat ini tinggal 10 pengukir. Beberapa tahun lalu masih 25 orang,” katanya.
Masykur menuturkan, pihaknya telah meminta Pemkab Jepara untuk memasukkan kembali seni ukir ke dalam muatan lokal, setelah sempat dihapus. Lantaran terkait ekonomi, katanya, harus ada semacam paksaan untuk belajar. ”Terpakai atau tidak urusan belakangan. Bagaimanapun, kita wajib beri bekal dan keahlian,” ujarnya.
Sementara itu, Rachmat mengatakan, di samping mendorong mesin CNC untuk produk massal, karya buatan tangan juga mesti dipertahankan. Ia pun mendorong HIMKI untuk memikirkan keberlanjutan generasi. Misalnya, membentuk desa-desa sentra khusus ukir. Selain untuk pariwisata, regenerasi bisa tetap berjalan.