Mayoritas Nasabah Belum Setujui Restrukturisasi Polis
Tanpa restrukturisasi polis nasabah dan potongan manfaat, pada akhir 2020, selisih ekuitas Jiwasraya diproyeksikan akan minus Rp 50,9 triliun. Jika ini terjadi, modal awal dan suntikan PMN bisa mencapai Rp 51,4 triliun.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) melalui restrukturisasi polis dan pemindahan portofolio ke perusahaan baru, Indonesian Financial Group Life, belum disetujui mayoritas nasabah. Dari sekitar 180 nasabah korporasi Jiwasraya, baru 38 persen atau 70 perusahaan yang bersedia, berhubung program itu akan ikut memangkas manfaat nasabah.
Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) (Persero) Robertus Bilitea mengatakan, sampai saat ini, upaya restrukturisasi masih terus dilakukan Jiwasraya terhadap para pemegang polisnya. Apabila semua nasabah setuju, portofolio mereka yang sudah direstrukturisasi akan dipindahkan ke Indonesian Financial Group (IFG) Life.
Kendati demikian, mayoritas nasabah belum menyetujui restrukturisasi polis. ”Perkembangannya, dari 180 korporasi, ada 70 korporasi yang sudah menyetujui pola restrukturisasi. Sisanya masih terus dijajaki,” kata Robertus, Rabu (9/9/2020), dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang ditayangkan secara virtual.
Apabila semua nasabah setuju, portofolio mereka yang sudah direstrukturisasi akan dipindahkan ke IFG Life. Kendati demikian, mayoritas nasabah belum menyetujui restrukturisasi polis. (Robertus Bilitea)
Rencana penyelamatan Jiwasraya lewat pendirian IFG Life di bawah PT BPUI baru dapat dilakukan jika proposal restrukturisasi sudah disetujui para pemegang polis Jiwasraya. Untuk mendirikan anak usaha baru itu, PT BPUI akan memanfaatkan suntikan penyertaan modal negara (PMN) Rp 20 triliun pada 2021.
Direktur Bisnis PT BPUI Pantro Pander Silitonga mengemukakan, restrukturisasi polis harus dilakukan untuk mengurangi beban biaya penyelamatan Jiwasraya. Jika restrukturisasi tidak dilakukan, liabilitas Jiwasraya akan semakin besar dan asetnya berkurang sehingga selisih ekuitasnya (equity gap) akan semakin tinggi.
Tanpa restrukturisasi polis nasabah dan pemotongan (haircut) manfaat, pada akhir 2020, selisih ekuitas Jiwasraya diproyeksikan akan minus Rp 50,9 triliun. Jika hal itu terjadi, modal awal serta suntikan PMN yang dibutuhkan untuk program penyelamatan Jiwasraya menjadi semakin besar, yakni Rp 51,4 triliun.
Oleh karena itu, ujar Pantro, pemerintah memutuskan melakukan 100 persen restrukturisasi polis dengan pemotongan manfaat 40 persen. Dengan skenario itu, selisih ekuitas pada akhir 2020 diproyeksikan menjadi minus Rp 24,2 triliun. Modal awal serta suntikan PMN yang dibutuhkan pun cukup Rp 24,7 triliun.
”Kami akan ambil skenario ini. Ini sudah dibahas dan disetujui di level Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan,” katanya.
Tanpa restrukturisasi polis nasabah dan pemotongan (haircut) manfaat, pada akhir 2020, selisih ekuitas Jiwasraya diproyeksikan akan minus Rp 50,9 triliun.
Robertus berasumsi, dari proses komunikasi yang dibangun antara tim Jiwasraya dan pemegang polis sejauh ini, negosiasi untuk menyetujui restrukturisasi polis bisa dicapai.
”IFG Life akan kami bangun dengan tata kelola dan human capital yang baik. Belajar dari kasus Jiwasraya, kami juga tidak akan memasukkan produk-produk asuransi yang risikonya tinggi dan tidak bisa kita mitigasi,” ujar Robertus.
Sebelumnya, ada tiga opsi skema penyelamatan Jiwasraya yang tersedia. Pertama, bail out atau dukungan dana dari pemerintah jika permasalahan Jiwasraya berdampak sistemik terhadap industri. Kedua, restrukturisasi, transfer, dan bail in, yakni dukungan dana dari pemegang saham Jiwasraya secara tidak langsung. Ketiga, likuidasi atau pembubaran perusahaan Jiwasraya.
Pemerintah akhirnya memutuskan mengambil opsi kedua, yakni restrukturisasi polis, transfer, dan bail in. ”Opsi ini lebih memberikan perlindungan kepada pemegang polis dan menjauhkan dari berbagai macam tuntutan atau gugatan hukum di kemudian hari,” kata Robertus.
Lewat opsi itu, PT BPUI akan mendirikan anak usaha baru bernama IFG Life untuk menampung polis nasabah Jiwasraya yang sudah direstrukturisasi. Total dana yang dibutuhkan untuk modal awal mendirikan dan mengoperasikan IFG adalah Rp 24,7 triliun.
Sumber dana untuk bail in itu akan diambil dari suntikan PMN sebesar Rp 20 triliun kepada PT BPUI, upaya penggalangan dana (fundraising) dari underlying dividen anak usaha PT BPUI lainnya sebesar Rp 4,7 triliun, serta sumber lainnya dari rencana divestasi Jiwasraya Putra yang diestimasi akan menghasilkan Rp 2 triliun.
Menurut Robertus, opsi penyelamatan Jiwasraya yang lain memiliki konsekuensi dan dampak yang lebih luas dan sistemik. Opsi pertama berupa bail out tidak bisa dilakukan karena sampai sekarang belum ada peraturan terkait dengan industri asuransi, baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Sementara opsi pembubaran perusahaan memiliki dampak ekonomi, sosial, dan politik yang cukup signifikan. ”Kalau likuidiasi, kita akan menghadapi risiko hukum, reputasi, dan finansial yang tidak akan kalah masifnya,” katanya.