Lanskap Silicon Valley Mulai Berubah
Lanskap Silicon Valley sebagai kawasan kantor perusahaan berbasis teknologi akan segera berubah menjadi lebih ramah bagi masyarakat sekitarnya. Gedung yang angkuh dan tertutup akan diubah menjadi terbuka bagi warga.
Sejumlah perusahaan teknologi telah membocorkan rencana penggunaan ruang di Silicon Valley, California, Amerika Serikat. Mereka ingin berubah untuk mengadopsi kepentingan mereka ke depan. Mereka tidak akan lagi menebar khayalan terlalu tinggi sekaligus ketakutan bagi orang yang melihat gedung-gedung itu.
Perusahaan teknologi lebih memilih untuk membangun kompleks di kawasan itu yang mampu menarik publik dan talenta-talenta unggul dibandingkan mendirikan bangunan yang memberikan kesan membanggakan atau menyombongan diri.
Sejak tiga tahun lalu, kawasan dan gedung perusahan teknologi sudah dikritik. Sebuah artikel di Financial Times edisi 13 September 2017 berjudul ”Silicon Valley’s Less Than Revolutionary Office Concepts” telah menyebutkan, perusahaan teknologi tidak peduli dengan arsitektur. Saat membangun seharusnya mereka menunjukkan regenerasi konsep arsitektur.
Sayangnya, mereka malah makin gandrung membangun istana tersendiri yang asing dari masyarakatnya. Meski demikian, saat itu sudah ada suara-suara agar perusahaan teknologi membuka diri.
Pekan lalu dalam pengumuman terbarunya, seperti diberitakan CNBC, Google menyebutkan mereka akan meninggalkan desain-desain bangunan model lama di sebuah kompleks di Mountain View. Mereka juga tidak akan meniru desain gedung-gedung yang congkak yang hanya untuk menunjukkan kalau mereka adalah perusahaan teknologi hebat.
Google berencana membangun kompleks multifungsi. Mereka akan membangun kompleks perkantoran, hunian, ritel, area untuk acara-acara publik. Sebuah keanehan pada saat perusahaan teknologi lainnya memilih desain sombong tadi, sejumlah perusahaan memilih desain berbeda.
Baca juga: Komoditas Politik Itu Bernama Tiktok
Facebook juga dikabarkan melakukan hal yang sama. Mereka tengah mendesain ulang kawasan dan ruangan yang berada di Menlo Park. Mereka tidak akan memilih kembali desain tradisional sebagaimana diadopsi perusahaan teknologi. Mereka lebih memilih desain yang membumi.
Facebook akan mengembangkan kawasan itu yang memungkinkan karyawannya mampu membeli hunian, kawasan yang dilengkapi pusat perbelanjaan, serta memiliki fasilitas pendukung lainnya seperti untuk pengobatan.
Sebuah perusahaan analisis mahadata Splunk juga telah menyewa lahan di kawasan Santa Clara untuk menjadi kantor pusatnya yang baru. Menurut laman media setempat Mercury News, dua gedung disewa hingga menjadikan kantor ini lebih luas dibandingkan kantor lama mereka di San Francisco.
Desain mereka juga merupakan desain bangunan untuk beragam peruntukan. Beberapa ruangan akan dipakai untuk kantor, restoran, hotel, hunian, tempat pertunjukan. Gedung-gedung mereka bukanya tertutup untuk publik, tetapi malah akan mengundang publik masuk.
Dari tiga contoh perubahan desain ruang di kawasan besar yang disebut Silicon Valley itu, kita bisa menduga kemungkinan perubahan-perubahan yang tengah terjadi. Kesan pertama perusahaan teknologi itu tidak ingin disebut lagi angkuh atau sombong. Mereka tidak ingin lagi berada di menara gading. Mereka ingin mengajak masuk publik ke kawasan mereka. Mereka ingin memberi kesan ramah kepada publik.
Selama ini kawasan perusahaan teknologi memang sangat tertutup rapat. Untuk masuk ke kawasan itu sangat rumit karena kerahasiaan dan pergerakan orang dijaga ketat. Kompas yang pernah mengunjungi salah satu perusahaan teknologi terpaksa meminta bantuan karyawan setempat sekadar untuk membeli suvenir kecil. Untuk sekadar membeli suvenir saja harus didampingi karyawan. Tidak boleh sendirian.
Baca juga: ”Challenge” di Media Sosial Tidak Boleh Sekadar Viral
Dugaan di atas tidak meleset. Laporan beberapa media menyebutkan, perusahaan teknologi tidak ingin dikesankan mendongak ke atas dan berjarak dari lingkungannya. Mereka ingin mengubah pandangan warga sekitar. Selama ini mereka dipandang sebagai kelompok asing dan terkurung di dalam gedung. Kini mereka ingin memperhatikan setiap orang yang berada di sekitarnya. Warga sekitar dan orang luar bisa melihat dan menikmati berbagai fasilitas yang ada.
Ujung dari semua itu, perusahaan teknologi ingin ”mempromosikan” keberadaannya sehingga menarik minat talenta-talenta hebat. Melalui desain ruangan, mereka mengundang orang-orang hebat masuk.
Laman CNBC menyebutkan, beberapa konsultan yang dilibatkan mengakui, benteng kampus yang tinggi yang dibangun perusahaan teknologi selama ini membuat pemisahan secara tegas antara mereka yang bekerja di dalam benteng dan warga sekitar.
Oleh karena itu, di beberapa perusahaan teknologi muncul keluhan warga sekitar. Mereka meminta agar ada interaksi warga dengan penghuni kampus, mereka meminta agar pekerja lokal diberi kesempatan, dan mereka meminta perusahaan teknologi membuat ruangan agar anak-anak setempat bisa berkreasi dan membuat pelatihan.
Para konsultan itu mengaku cemas dengan kecenderungan itu karena kelak bisa muncul generasi ”kami berhadapan dengan mereka”. Orang-orang di dalam benteng akan merasa lebih ”diberkati”, sementara orang di luar benteng hanyalah gembel belaka atau merasa sebagai kaum paria. Kecenderungan ini sangat membahayakan di tengah isu lain yang menguat, yaitu permasalahan rasial di Amerika Serikat.
Di sisi lain, benteng tinggi itu bakal memunculkan orang-orang yang membuat produk jauh dari realitas masyarakat. Desain seperti ini tak akan menarik bagi talenta-talenta di luar untuk masuk. Karyawan di dalam makin terasing.
Baca juga: Uji Ketahanan Korporasi Teknologi di Tengah Pandemi
Dengan desain gedung dan fasilitas lain yang lebih terbuka membuat penghuni benteng bisa berinteraksi dengan publik dalam keseharian. Mereka bisa duduk di kafe dan minum kopi bersama. Interaksi semacam ini akan menumbuhkan ide-ide kreatif yang makin mendekatkan karyawan dengan masyarakat sekitar.
Orang-orang dari luar tidak akan lagi merasa berjarak dengan perusahaan teknologi. Mereka bahkan bisa mengakses sejumlah fasilitas sehingga persepsi warga terhadap perusahaan teknologi membaik. Kesan sombong berganti dengan kesan ramah seperti mereka berteman dalam keseharian. Jarak lebar makin berkurang.
Di sisi lain, desain gedung atau kawasan dengan berbagai peruntukan juga bertujuan untuk menarik talenta-talenta hebat masuk perusahaan teknologi karena mereka menyediakan hunian dengan harga terjangkau.
Kaum milenial dengan umur tertua 40 tahun sebagian besar mulai memilih hidup mapan. Mereka telah berkeluarga. Mereka membutuhkan rumah dan terbebani bila mereka setiap hari harus berkomuter. Oleh karena itu mereka menginginkan hunian yang tidak jauh dari tempat bekerja. Tidak hanya dekat, hunian itu diharapkan juga mempunyai harga lebih murah.
Milenial mengakui harga properti sudah tidak masuk akal sehingga mereka terbebani, bahkan sekadar untuk menyewa tempat tinggal. Teriakan mereka untuk mendapat hunian yang terjangkau pernah dilakukan sejumlah karyawan perusahaan teknologi.
Baca juga: Kisah Airbnb Saat Pandemi, Cermin bagi Usaha Rintisan
Lanskap Silicon Valley bakal berubah. Kita akan mudah melihat perusahaan-perusahaan teknologi secara lebih dekat. Kita tak akan melihat benteng-benteng angkuh yang sulit dimasuki.
Talenta-talenta dari Indonesia bisa melihat mereka lebih dekat sehingga mungkin bisa belajar dari mereka untuk mengembangkan kemampuan di bidang teknologi digital. Lebih dari itu, mereka perlu memasuki dunia kerja perusahaan-perusahaan teknologi global sebelum akhirnya mereka mengembangkan di dalam negeri.