Gelombang pemutusan hubungan kerja akibat pandemi menambah jumlah masyarakat miskin baru. Daya beli dan konsumsi turun, sementara risiko kredit macet semakin meningkat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang pemutusan hubungan kerja telah memengaruhi kemampuan daya beli masyarakat. Apabila penurunan konsumsi tidak terbendung, risiko kredit macet akan meningkat dan mengancam sejumlah sektor industri yang bergantung pada tingkat daya beli masyarakat.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara, berpendapat, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi menambah jumlah masyarakat miskin baru akibat pandemi Covid-19. ”Sepanjang pandemi, 5,23 juta pegawai mengalami PHK,” ucapnya dalam webinar bertajuk ”Indonesia Millenial Financial Summit”, di Jakarta, Senin (7/9/2020).
Aktivitas ekonomi yang terbatas juga mendongkrak jumlah penganggur yang diperkirakan naik ke kisaran 3-5 juta orang. Menurut Tirta, akan ada banyak rumah tangga yang menghadapi problem keuangan karena 22 persen pekerja yang terkena PHK merupakan kepala rumah tangga dan mereka kehilangan sumber pendapatan.
Menurut proyeksi OJK, guna menutupi kesulitan keuangan, 43 persen pekerja yang terdampak PHK akan menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 15 persen sisanya menjual aset, 8 persen lainnya memilik menggadaikan aset, 19 persen meminjam uang ke koperasi, serta 6 persen lainnya meminjam uang di bank dan 1 persen menggunakan platform pinjaman daring.
”Kesulitan keuangan membuat pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 dapat tumbuh negatif 2 persen,” ujarnya.
Kredit macet
Imbas penurunan daya beli juga mendorong bertambahnya risiko kredit macet dari sektor industri yang bergantung pada konsumsi masyarakat.
Merujuk Laporan Keuangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk semester I-2020, rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) meningkat dari 2,59 persen pada Juni 2019 menjadi 3,28 persen pada Juni 2020. Sektor industri dan pertambangan menjadi sumber utama terdongkraknya NPL, yakni dengan nilai Rp 15,68 triliun atau setara 56,51 persen dari nilai kredit bermasalah Bank Mandiri yang mencapai Rp 27,75 triliun.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, peningkatan rasio kredit macet ini utamanya berasal dari sejumlah debitor besar di segmen komersial. Debitor dengan permasalahan arus kas sejak sebelum pandemi mendongkrak NPL, antara lain, berasal dari sektor perdagangan batubara, perdagangan mesin dan alat berat, serta perdagangan migas.
Ia menaksir potensi gagal bayar dari beberapa debitor yang menerima restrukturisasi. Terlebih saat ketentuan restrukturisasi dicabut pada Maret 2021. ”Kami memproyeksikan 7-8 persen debitor yang mendapat restrukturisasi akibat pandemi akan gagal bayar dengan status kredit akan menjadi NPL,” ujarnya.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menilai, risiko kredit bermasalah akan cenderung meningkat di akhir tahun meskipun masih di batas aman. Dia menyarankan agar bank kembali melihat struktur debitor, baik debitor yang lancar maupun yang direstrukturisasi, guna mengukur kebutuhan dana pencadangan apabila program restrukturisasi berakhir.
”Perpanjangan relaksasi harus diwaspadai pada 2022 sebab di situlah NPL baru naik karena perusahaan yang direstrukturisasi kreditnya belum tentu mampu atau memang mereka seterusnya sudah tidak punya kemampuan,” kata Aviliani
Tren permintaan relaksasi kredit, lanjut Aviliani, masih akan berlangsung hingga ekonomi kembali pulih. Setelah sektor UMKM, kini giliran korporasi berukuran menengah yang akan meminta relaksasi kredit karena cadangan dana ternyata tidak mencukupi.