Upaya untuk mendigitalisasi usaha mikro memerlukan pendampingan secara bertahap. Penguasaan digital berguna untuk membantu pelaku usaha memperluas pasar, terutama di masa sulit seperti pandemi saat ini.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendigitalisasi usaha mikro memerlukan pendampingan secara bertahap. Penguasaan digital berguna untuk membantu pelaku usaha memperluas pasar, terutama di masa sulit seperti pandemi saat ini.
Mohammad Firdaus, Deputi Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), dalam konferensi pers virtual ”Program Perempuan Wirausaha Tangguh dan Kreatif”, Selasa (8/9/2020) menyebut, sebanyak 50-60 persen perempuan pelaku usaha mikro yang mereka dampingi belum melek digital. Kebanyakan mereka berusia 40 tahun ke atas.
Untuk itu, ASPPUK bekerja sama dengan Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) dan Tokopedia mengadakan program pemberdayaan pelaku usaha lokal, khususnya perempuan dan difabel. Program perdana itu diadakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta dengan 700 lebih perempuan pelaku usaha mikro, yang 75 orang di antaranya difabel.
Pendampingan yang dilakukan sepanjang tahun ini di antaranya mendorong pelaku usaha untuk masuk dalam ekosistem digital, khususnya untuk penjualan daring. Kerja sama itu juga akan menghasilkan modul pelatihan agar dapat disebarkan ke banyak perempuan pelaku usaha mikro di lebih banyak daerah.
”Ini yang diidamkan teman-teman perempuan pelaku usaha. Mereka sebelumnya hanya terbengong, yang lain jualan online, masa saya enggak bisa,” ujarnya.
Pendampingan untuk pemberdayaan pelaku usaha mikro itu dilakukan utamanya untuk memasukkan pelaku usaha mikro dengan ekosistem penjualan digital di platform e-dagang. Pemberdayaan yang diberikan, antara lain, adalah menggunakan ponsel untuk mengakses e-dagang, berkomunikasi dengan pembeli secara daring, mengambil foto konten penjualan, dan mengemas barang dengan baik.
Perempuan pelaku usaha yang kebanyakan berusia di atas 40 tahunan, menurut dia, sering mudah menyerah atau merasa gagap teknologi. Untuk itu, dalam usaha pemberdayaan, mereka juga kerap melibatkan anak-anak para pelaku usaha atau kelompok binaan yang dapat menularkan keahlian.
”Pendampingan adalah kunci untuk masuk ke digital,” ujar Firdaus. Menurut dia, pendampingan juga kunci bagi pelaku usaha untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk lain, seperti permodalan.
Beberapa pelaku usaha mengaku pendampingan dari kerja sama itu membantu mereka bertahan dan pulih perlahan dari efek pandemi Covid-19. Manfaat itu salah satunya dirasakan Yomi Windri Asni, pemilik usaha sabun ramah lingkungan dari minyak jelantah, Sabun Langis, asal Bantul, Yogyakarta.
”Tidak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 memberi dampak langsung pada penjualan saya, di mana ada penurunan signifikan sampai 50 persen. Dengan adanya program ini, saya jadi kenal platform penjualan digital dan ada pendampingan supaya volume penjualan meningkat lagi,” ujarnya yang kini banyak mendapat pesanan produk dari Jakarta dan Surabaya.
Rofitasari Rahayu, pelaku usaha Wayang Sodo Ayu, asal Gunung Kidul, yang tunarungu, juga terbantu. Pandemi menurunkan 80 persen penjualan produk kesenian dan dekorasi yang biasa dilakukan melalui pameran. Dengan akses penjualan digital, ia masih bisa menjual karyanya.
Suyatmi, pemilik usaha Aulya Lurik, juga sebelumnya hanya mengandalkan pameran sebagai media pemasaran. Namun, semenjak mengikuti pendampingan dan masuk ke pasar daring, ia bisa tetap berjualan, bahkan merambah pasar baru di luar Pulau Jawa.
”Setelah dapat program ini, ada peningkatan, bahkan penambahan pemesanan motif. Enaknya lagi, jualan enggak perlu keluar rumah, cukup di rumah sambil pegang HP,” ujarnya.
Pemberdayaan UMKM dengan model pendampingan seperti itu mendapatkan momentumnya di tengah naiknya pemanfaatan platform penjualan digital untuk membeli dan menjalankan usaha.
Nuraini Razak, Vice President Corporate Communication Tokopedia, mengatakan, pandemi menambah sekitar 1,8 juta penjual baru di platform mereka. Dengan demikian, saat ini Tokopedia dimanfaatkan hampir 9 juta pelaku usaha. Sebanyak 94 persen di antaranya merupakan penjual berskala ultra mikro.
Peningkatan jumlah penjual tersebut diharapkan membantu pelaku usaha mikro yang bergabung untuk dapat bertahan di tengah pandemi.
"Saat ini mungkin belum banyak pelaku UMKM yang kenal jualan online, tetapi kami yakin, pegiat UMKM memiliki kemampuan bertahan yang tinggi. Ditambah akses online, mereka akan lebih cepat beradaptasi. Dan dengan pendampingan ini kami berharap mereka tidak hanya bertahan, tapi lebih baik usahanya," tuturnya.
Triyono, Direktur Public Affairs Communication and Sustainability CCFI, pada kesempatan sama, berpendapat, pemberdayaan yang berfokus pada peningkatan akses pasar jadi sangat penting untuk mengembangkan usaha.
"Peningkatan akses pasar pada saat ini lebih penting, baru diikuti dukungan permodalan. Oleh karena itu, kita melihat, akses ke e-dagang adalah kesempatan bagus bagi pelaku UMKM," katanya.
Jika program awal tersebut berjalan dengan baik dan berdampak besar, mereka berencana akan mengadakan program berikutnya pada tahun mendatang.