Belanja Masyarakat Turun, Usaha Ritel Makin Terpuruk
Penurunan belanja masyarakat di tengah pandemi Covid-19 semakin memukul usaha ritel. Sebagian peritel mulai menghentikan kontrak sewa dan menutup gerai guna menekan kerugian.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha ritel makin terimpit situasi. Penurunan belanja di tengah pandemi Covid-19, terutama dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah serta kecenderungan segmen menengah atas menahan belanja, semakin menekan pendapatan peritel dan memaksa sebagian di antaranya menutup gerai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga yang masih mendominasi struktur produk domestik bruto (PDB) nasional tumbuh negatif 5,51 persen pada triwulan II-2020. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, rata-rata pendapatan peritel saat ini lebih rendah dibandingkan dengan biaya operasionalnya.
Penurunan pendapatan dipicu tingkat kunjungan dan belanja masyarakat yang terus berkurang. Menurut Roy, masyarakat cenderung hanya belanja kebutuhan pokok. Selain itu, pembelian yang tidak direncanakan (impulse buying) semakin rendah. Padahal, dalam kondisi normal, pembelian yang tidak direncanakan kerap lebih besar ketimbang belanja yang direncanakan. ”Pengeluaran mulai memakan biaya modal yang seharusnya diperuntukkan bagi ekspansi,” ujarnya, Senin (7/9/2020).
Roy menambahkan, ritel merupakan sektor strategis yang perlu diperhatikan dan dilindungi sebagai jembatan antara produsen dan konsumen. Pihaknya menyayangkan masih kurangnya perhatian terhadap sektor perdagangan ritel yang dituntut terus buka guna memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Berdasarkan data Aprindo, jumlah unit usaha ritel mencapai 35.000 toko, tersebar di 34 provinsi dengan jumlah pekerja mencapai 4 juta orang. Mulai Juli 2020, pemerintah menggulirkan stimulus kredit korporasi senilai Rp 100 triliun melalui 15 bank. Namun, penyaluran kredit korporasi dinilai baru menyentuh beberapa sektor, seperti logistik dan transportasi, tetapi belum menyentuh perdagangan ritel.
Kredit korporasi diperlukan usaha ritel untuk mengurangi beban kredit komersial dengan bunga kredit yang mencapai 12 persen. ”Kalau negara tidak hadir, tidak ada bantuan kredit korporasi, ya, ritel akan tumbang,” kata Roy.
Hal senada dikemukakan Tutum Rahanta dari Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo). Kondisi peritel semakin buruk daripada bulan-bulan sebelumnya. Penurunan belanja masyarakat sangat berdampak untuk hampir seluruh sektor ritel.
Tutup gerai
Sebagian peritel yang tidak bisa membayar biaya sewa toko dan upah karyawan terpaksa menutup gerai atau memutus kontrak dengan pengelola pusat perbelanjaan. Kondisi ini mulai banyak terjadi di pusat belanja kelas atas (grade A). Peritel memilih tutup gerai untuk menekan kerugian dan menunggu kondisi ekonomi membaik untuk kembali beroperasi.
Penutupan terutama terjadi di gerai-gerai non-makanan. Di sisi lain, usaha ritel makanan dan minuman juga mulai terimbas oleh penurunan daya beli. Jumlah gerai banyak, tetapi pengunjung menurun.
Insentif yang digulirkan pemerintah untuk pekerja dinilai lebih menjaga daya tahan, tetapi belum mampu memulihkan daya beli. Sementara itu, usaha ritel semakin kesulitan modal karena sulit meminjam kredit perbankan. ”Apabila kondisinya terus berlanjut, ritel yang berguguran dikhawatirkan semakin banyak. Apalagi, kasus Covid-19 cenderung terus meningkat,” kata Tutum.
Menurut Head of Corporate Communication PT Matahari Putra Prima Tbk Fernando Repi, pandemi Covid-19 telah memaksa peritel untuk segera beradaptasi dengan kanal digital untuk mengoptimalkan layanan belanja daring.
Meski demikian, adopsi sistem belanja secara daring belum mampu mendongkrak tingkat penjualan. Sebab, kontribusi belanja secara daring baru sekitar 15 persen dari total penjualan.
Solidaritas
Pandemi dinilai melahirkan perubahan positif, antara lain peningkatan solidaritas sosial. Modal ini dinilai bisa membantu masyarakat melalui krisis. Pandangan ini mengemuka dalam webinar yang digelar Gerakan Pakai Masker (GPM), Senin. ”Ada empat perubahan besar yang muncul, yaitu solidaritas sosial, media digital/virtual, tinggal di rumah, dan prioritas pada kebutuhan dasar,” kata Ketua Umum GPM Sigit Pramono.
Solidaritas sosial dinilai bisa membantu masyarakat keluar dari masa sulit. Hingga 31 Juli 2020, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan, lebih dari 3,5 juta pekerja terdampak. Sebanyak 1.132.117 orang di antaranya adalah pekerja formal yang dirumahkan dan 383.645 orang yang di-PHK. Sebanyak 630.905 pekerja informal juga terdampak.
Menurut Sigit, kapitalisasi solidaritas sosial muncul dalam bentuk gerakan masyarakat peduli sesama. Beberapa di antaranya adalah GPM, Benihbaik.com, Rumah Zakat, Peduli Sehat, dan Sonjo.