Daya tahan pelaku ritel mulai tergerus seiring penurunan daya beli dan kecenderungan masyarakat untuk menahan belanja. Tanpa terobosan, usaha ritel dikhawatirkan berguguran.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor usaha ritel mulai terimpit dampak penurunan belanja masyarakat. Penurunan belanja dipicu oleh dua hal, yakni melemahnya daya beli pada segmen masyarakat kelas bawah serta kecenderungan segmen menengah ke atas menahan belanja.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada triwulan II (April-Juni) 2020, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh minus 5,51 persen secara tahunan dengan andil terhadap struktur produk domestik bruto sebesar 57,85 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengemukakan, tingkat konsumsi rumah tangga yang menurun kian memukul industri ritel. Rata-rata pendapatan yang diperoleh peritel saat ini lebih rendah dibandingkan dengan biaya operasional. Penurunan pendapatan dipicu oleh tingkat kunjungan ke ritel dan belanja masyarakat yang terus berkurang.
Roy menambahkan, nilai transaksi penjualan di ritel sudah semakin kecil. Masyarakat cenderung hanya belanja kebutuhan pokok. Selain itu, pembelian yang tidak direncanakan (impulse buying) juga semakin rendah. Dalam kondisi normal, biasanya pembelian yang tidak direncanakan kerap lebih besar daripada belanja yang direncanakan.
”Pendapatan sudah tidak bisa lagi menutup pengeluaran. Pengeluaran mulai memakan biaya modal yang seharusnya diperuntukkan bagi ekspansi. Pertumbuhan ritel didorong ekspansi. Kalau tidak ada ekspansi, berarti tidak ada pertumbuhan,” katanya, Senin (7/9/2020).
Ia menilai ritel merupakan sektor strategis yang perlu diperhatikan dan dilindungi sebagai jembatan antara produsen dan konsumen. Data Aprindo, jumlah unit usaha ritel mencapai 35.000 toko, tersebar di 34 provinsi dengan jumlah pekerja mencapai 4 juta orang.
Pihaknya menyayangkan belum ada perhatian terhadap sektor perdagangan ritel. Padahal, sektor ini dituntut terus buka guna memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Di sisi lain, peritel terus menambah biaya untuk penyediaan disinfektan, sabun cuci tangan, dan sepeda motor untuk layanan pesan antar, sedangkan harga cenderung tetap, bahkan turun.
Mulai Juli 2020, pemerintah telah menggulirkan stimulus kredit korporasi senilai Rp 100 triliun melalui 15 bank. Namun, penyaluran kredit korporasi dinilai baru menyentuh beberapa sektor, seperti logistik dan transportasi, tetapi belum menyentuh perdagangan ritel.
Kredit korporasi diperlukan usaha ritel untuk mengurangi beban kredit komersial dengan bunga kredit hingga 12 persen. Selasa, pihaknya akan membahas kredit korporasi dengan Bank Indonesia.
”Kalau negara tidak hadir, tidak ada bantuan kredit korporasi, ya, ritel akan tumbang. Kalau ritel tumbang, risiko jauh lebih besar karena masyarakat bakal kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari serta menghambat sektor hulu,” kata Roy.
Hal senada dikemukakan Tutum Rahanta dari Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo). Kondisi peritel kian memburuk dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya sebagai dampak pandemi Covid-19. Penurunan belanja masyarakat sangat berdampak untuk hampir seluruh sektor ritel.
Sebagian peritel yang tidak bisa menahan biaya sewa dan karyawan terpaksa menutup gerai ketika sudah habis kontrak ataupun putus kontrak dengan pusat belanja. Kondisi ini mulai banyak terjadi di pusat belanja kelas atas (grade A). Peritel memilih tutup gerai untuk menekan kerugian dan menunggu kondisi ekonomi membaik untuk kembali beroperasi.
Penutupan gerai ritel terutama berlangsung untuk ritel non-makanan. Di sisi lain, usaha ritel makanan dan minuman juga mulai terimbas penurunan daya beli. Jumlah gerai banyak, tetapi pengunjung menurun.
Insentif yang digulirkan pemerintah untuk pekerja dinilai lebih menjaga daya tahan, tetapi belum mampu memulihkan daya beli. Sementara itu, usaha ritel semakin kesulitan modal karena sulit meminjam kredit perbankan. ”Apabila kondisinya terus berlanjut, ritel yang berguguran dikhawatirkan semakin banyak. Apalagi, kasus covid-19 cenderung terus meningkat,” kata Tutum.
Menurut Head of Corporate Communication PT Matahari Putra Prima Tbk Fernando Repi, pandemi Covid-19 telah memaksa pelaku ritel untuk segera beradaptasi dengan kanal digital untuk layanan belanja secara dalam jaringan. Meski demikian, adopsi sistem belanja secara daring belum mampu mendongkrak tingkat penjualan. Kontribusi belanja secara daring baru sekitar 15 persen dari total penjualan.
Kontribusi belanja secara daring baru sekitar 15 persen dari total penjualan.
Di sisi lain, penjualan di toko atau gerai juga menurun dalam 4 bulan terakhir. Dari sekitar 40.000 jenis barang (SKU) dalam 1 toko, yang laku hanya sekitar 5.000-8.000 SKU. Penurunan itu dipicu pelemahan daya beli masyarakat. Pihaknya telah bekerja sama dengan e-dagang dan transportasi daring untuk mendorong pemasaran.
”Untuk mendorong tingkat belanja, pelaku ritel dituntut berkolaborasi dengan pemasok dan segera masuk ke kanal omnichannel (offline to online),” kata Fernando, yang juga Wakil Ketua Aprindo.
Di sisi lain, pihaknya berharap penyelesaian dan penanganan Covid-19 perlu dilakukan serius. Kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan perlu ditingkatkan. ”Tanpa upaya mengatasi masalah kesehatan, persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai,” ujarnya.