Pemerintah akan kembali memungut pajak penghasilan karyawan mulai tahun depan. Insentif pajak bagi karyawan ini tidak diperpanjang karena dianggap tidak efektif mendongkrak daya beli masyarakat.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Para pekerja berjalan menuju Stasiun Commuter Line di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, saat jam pulang kerja, Rabu (18/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan kembali memungut pajak penghasilan karyawan mulai tahun 2021. Langkah pemerintah memberi insentif pajak penghasilan kepada karyawan dinilai tidak efektif menggerakkan roda ekonomi di level kelompok masyarakat kelas menengah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, pekan lalu, menegaskan, insentif pajak tetap diberikan untuk mendorong perekonomian. Namun, insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan, PPh Pasal 25, dan PPh Impor 22 tidak diberikan lagi tahun depan.
Pada 2021, paling tidak ada empat jenis insentif pajak tetap yang diberikan pemerintah, yaitu percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak ditanggung pemerintah, pembebasan pajak (tax holiday), dan pengurangan pajak (tax allowance).
Menanggapi hal tersebut, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, berpendapat, gelontoran insentif pajak yang diberikan pemerintah berdampak minim bagi perekonomian karena masyarakat saat ini lebih memilih menahan belanja, serta pengusaha menahan investasi dan ekspansi bisnis.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Pemanfaatan insentif pajak per 30 Juni 2020. Sumber: Kementerian Keuangan
”Insentif pajak karyawan ditanggung oleh pemerintah tidak dibelanjakan oleh masyarakat. Mereka menabung uangnya untuk antisipasi,” kata Faisal dalam diskusi bertajuk menggali pendapatan negara menghadapi resesi ekonomi di Jakarta, Sabtu (5/9/2020).
Insentif PPh 21 dapat dimanfaatkan wajib pajak yang pendapatannya di bawah Rp 200 juta per tahun. Karyawan tidak perlu membayar PPh selama masa pajak Juli-Desember 2020. Insentif pajak yang ditanggung pemerintah ini diharapkan dapat menumbuhkan daya beli masyarakat yang lesu semasa pandemi.
Faisal mengatakan, perekonomian diliputi ketidakpastian tinggi semasa pandemi Covid-19. Di Indonesia, ketidakpastian dipicu oleh tren peningkatan kasus Covid-19 yang belum mencapai titik puncaknya. Masyarakat yang memiliki pendapatan tetap merespons kondisi saat ini dengan menambah tabungan dan dana darurat.
Padahal, menurut data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, karyawan yang memanfaatkan insentif PPh 21 ditanggung pemerintah cukup tinggi, yakni berjumlah 106.187 wajib pajak, dengan realisasi insentif Rp 688 miliar hingga 30 Juni 2020. Mayoritas karyawan bekerja di sektor perdagangan dan industri pengolahan.
Di sisi lain, tren menabung pada kelompok kelas menengah terkonfirmasi dalam survei pertumbuhan uang beredar dari 12,1 persen pada Juni 2020 menjadi 17,6 persen pada Juli 2020 secara tahunan. Pertumbuhan uang beredar bersumber dari peningkatan laju uang kuasi, khususnya simpanan berjangka menjadi 8,5 persen.
Menurut Faisal, pengungkit daya beli kelompok kelas menengah bukan insentif pajak. Sumber kekhawatiran masyarakat harus diatasi terlebih dahulu, yakni tren peningkatan kasus Covid-19. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan penyebaran virus akan membentuk kepercayaan dan ekspektasi positif.
”Jika masyarakat merasa aman, mereka akan berbelanja normal tanpa harus diberikan stimulus,” kata Faisal.
Sektor prioritas
Dihubungi secara terpisah, Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, pemberian insentif pajak tahun depan sebaiknya memprioritaskan sektor-sektor yang masih terkena dampak Covid-19, seperti pariwisata dan transportasi udara.
Sementara itu, insentif untuk sektor usaha yang cepat pulih perlu dievaluasi implikasinya terhadap pengurangan potensi penerimaan. Pemerintah perlu lebih selektif dalam memberikan insentif pajak di tengah tren penurunan penerimaan. Jika tidak, insentif pajak hanya akan menggerus penerimaan yang sudah turun.
Menurut Fajry, selain sektor terdampak Covid-19, insentif pajak juga perlu diberikan untuk sektor yang mampu mendorong investasi. Pemerintah mustahil mendorong pemulihan ekonomi seorang diri. Pihak swasta berperan krusial sehingga insentif bisa ditujukan untuk menarik geliat investasi padat karya.
”Kalau swasta sudah mampu menyerap banyak tenaga kerja, pemerintah dapat mengurangi belanja bantuan sosial karena kemiskinan dan pengangguran berkurang,” kata Fajry.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystalin mengatakan, pemerintah tetap melancarkan kebijakan kontra siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun 2020 dan 2021. Oleh karena itu, berbagai insentif pajak tetap diberikan, tetapi lebih selektif dan tepat sasaran.
”Dalam situasi krisis seperti saat ini, prioritas pemerintah bukan untuk meningkatkan penerimaan, tetapi menggerakkan perekonomian,” kata Masyita.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F745455cf-299a-4e42-a10f-da618c35d90c_png.jpg){kind=logo}
