Pemerintah menyiapkan solusi permanen untuk mengatasi persoalan unggas dan ruminansia. Akan tetapi, diperlukan komitmen melaksanakan kebijakan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Pertanian atau Kementan menyiapkan regulasi guna memastikan kecukupan produksi dan kestabilan harga produk peternakan. Ketidakseimbangan produksi dan permintaan membuat harga hasil ternak fluktuatif.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrulah menilai, pandemi Covid-19 mengacaukan industri peternakan. Sejak awal pandemi, kelebihan pasokan unggas sangat besar, salah satunya karena permintaan daging ayam ras turun 40 persen.
”Produksi relatif stabil, tetapi konsumsi turun. Maka, terjadi kesenjangan suplai (dan permintaan). Inilah yang terjadi di (komoditas) unggas,” kata Nasrulah dalam forum diskusi publik ”Menghadapi Resesi Ekonomi” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) secara daring, Jumat (4/9/020).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,05 persen pada Agustus 2020. Penurunan indeks harga konsumen (deflasi) dipicu oleh penurunan harga sejumlah kelompok pengeluaran, terutama bahan makanan dan minuman serta transportasi, yang mengindikasikan lesunya permintaan di tengah pandemi Covid-19.
Kelompok bahan makanan, minuman, dan tembakau deflasi 0,86 persen pada Agustus 2020. Komoditas yang turun harga dan memberi andil deflasi antara lain daging ayam ras, bawang merah, tomat, telur ayam ras, bayam, dan pisang.
Turunnya harga telur dan daging ayam ras tecermin dalam penurunan nilai tukar petani (NTP) subsektor peternakan sebesar 1,31 persen menjadi 98,64. Artinya, kesejahteraan peternak turun karena indeks harga yang diterima lebih rendah dibandingkan dengan indeks harga yang dibayarkan peternak.
Menurut Nasrulah, penyelesaian persoalan unggas tidak mudah. Aturan sudah ada, tetapi penegakannya minim dan tidak tegas. Dalam kondisi pandemi, ada tiga langkah yang dilakukan pemerintah untuk membenahi persoalan unggas. Upaya itu meliputi langkah darurat yang akan diterapkan setiap bulan.
Kelebihan suplai daging ayam akan dijembatani dengan meminta integrator (perusahaan peternakan terintegrasi) yang memiliki rantai dingin yang cukup untuk menyerap produksi peternak.
Kedua, langkah jangka pendek hingga Desember 2020, yakni stabilisasi harga unggas agar tidak anjlok. Langkah itu berupa afkir dini indukan ayam ras dan upaya lindung nilai. Ketiga, solusi permanen melalui aturan yang wajib dipatuhi dan diberlakukan mulai 1 januari 2021. ”Kami upayakan solusi permanen yang disepakati bersama. Pelaku perunggasan harus ikut,” katanya.
Korporasi
Terkait ternak ruminansia atau sapi, kerbau, kambing, dan domba, Nasrulah mengakui Indonesia masih bergantung pada komoditas impor. Pemerintah kini tengah menyusun konsep korporasi yang melibatkan peternak, BUMN, perusahaan peternakan, dan perusahaan pakan yang akan tergabung dalam suatu korporasi hulu-hilir.
Perusahaan akan dibuat di tingkat kecamatan. Satu korporasi direncanakan meliputi lima desa dalam satu kecamatan. Setiap desa memiliki setidaknya 200 ekor sapi. ”Ke depan, setelah dua tahun, desa diharapkan tidak lagi menjual sapi, tetapi menjual daging melalui kerja sama dengan rumah potong hewan, kerja sama dengan importir untuk menjual daging, dan perbankan wajib menyediakan modalnya. BUMN masuk sebagai bapak angkat,” ujar Nasrulah.
Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Ali Agus berpendapat, hampir tidak ada bagian yang terbuang dari ternak ruminansia. Hasil ternak ruminansia, antara lain, berupa daging, susu, kulit tanduk, tulang, serta limbah pupuk padat dan cair.
Meski demikian, usaha ternak tidak selalu menguntungkan karena kalah bersaing dengan sapi bakalan dan daging impor. Program swasembada sudah digenjot, tetapi jumlah sapi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Lokomotif pembangunan peternakan ada pada kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan industri.
”Terobosan regulasi sangat penting untuk menjaga keseimbangan bagaimana peternak tetap bergairah mendapat manfaat dari ruminansia, tetapi konsumen daging juga mendapatkan harga yang tidak fluktuatif,” katanya.
Pengamat sosial ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Rochadi Tawaf, mengemukakan, aturan yang dibuat pemerintah kerap setengah hati. Dalam era digital, permintaan di hilir meningkat seiring meningkatnya akses konsumen ke pasar. Namun, kebutuhan di hilir belum bisa dipenuhi oleh ternak hasil budidaya dalam negeri yang masih kalah saing.
Masa pandemi Covid-19 seharusnya jadi momentum untuk membenahi data berbasis internet. Apabila serius, pemerintah bisa menggunakan sistem itu untuk memperoleh data yang akurat. ”Perlu harmonisasi kebijakan dan inovasi secepat mungkin di sektor budidaya,” ujarnya.