Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan produk berorientasi ekspor dituntut fleksibel memenuhi selera dan tuntutan pasar yang beragam. Dengan demikian, produk bisa semakin bersaing.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minat dan kebutuhan pasar dunia yang beragam menuntut pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah berorientasi ekspor mesti fleksibel memenuhi permintaan. Fleksibilitas itu bisa dengan cara memenuhi tuntutan sertifikasi dan kriteria yang diminta pasar di negara tujuan. Dengan demikian, produk makin bersaing.
Menurut Wakil Kepala Sekolah Ekspor Glenn Sompie, terdapat kesulitan mengurasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang hendak ekspor lantaran pelaku usahanya sudah merasa puas dengan produknya.
”Ini menunjukkan, ada UMKM yang tidak fleksibel. Padahal, pasar internasional berbeda. Setiap pasar memiliki tuntutan masing-masing. Permintaan pasar inilah yang mesti dipenuhi,” ujarnya dalam Business and Innovation Talk yang digelar Sekolah Ekspor dan Learn Business Anywhere Arrbey secara virtual, Sabtu (5/9/2020).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menggarisbawahi aturan mengenai produk makanan-minuman di sejumlah negara tergolong ketat dan wajib dipenuhi. Oleh sebab itu, asosiasi turun tangan untuk mengurasi produk makanan-minuman yang dihasilkan UMKM dan akan diekspor agar sesuai dengan standar yang diminta.
Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat (AS). Dewi Kreckman, salah satu peserta Sekolah Ekspor yang tinggal di AS, mengatakan, produk-produk makanan-minuman UMKM sebaiknya memiliki sertifikasi organik dari Departemen Pertanian AS dan bebas dari organisme dengan modifikasi genetika (GMO).
Agar berdaya saing, dia menyebutkan, produk UMKM juga mesti bernilai tambah dengan label perdagangan setara (fair trade) dan tanpa pengetesan pada hewan serta kemasan yang dapat didaur ulang. ”Kalau produk (makanan-minuman) yang dijual memiliki sertifikasi gluten free (bebas gluten) dan keto friendly, harganya bisa lebih tinggi. Produk keto friendly, misalnya, harganya 2-3 kali lebih mahal (dibandingkan yang tidak keto friendly). Pasar AS saat ini tengah memperhatikan kesehatan,” katanya.
Kartini, peserta Sekolah Ekspor yang tinggal di Qatar, menceritakan, produk makanan-minuman UMKM Indonesia mesti memiliki label yang berisi nama produk, komposisi dan bahan, serta tulisan ”Produk dari Indonesia” dalam bahasa Arab. Label tersebut dapat berupa stiker yang wajib ditempel di Indonesia sebelum diekspor ke Qatar.
Menurut Ahmad Gafur, peserta Sekolah Ekspor yang tinggal di Afrika Selatan, standar produk yang hendak memasuki pasar Afrika Selatan setara dengan negara-negara Uni Eropa dan AS. Dia mencontohkan produk obat-obatnya yang uji laboratoriumnya bisa mencapai 3-5 tahun.
Tak hanya standar produk dan aturan yang berkaitan, fleksibilitas dalam teknik mendekati pasar juga dibutuhkan. Contohnya Mesir. Fachurrazi, peserta Sekolah Ekspor yang tinggal di Mesir, mengatakan, importir Mesir lebih senang jika didatangi secara langsung.
Saka guru
Dengan menguasai pasar nasional dan global, Kepala Sekolah Ekspor sekaligus Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono menilai UMKM bisa menjadi saka guru perekonomian Indonesia.
”Pandemi ini menuntut kita menentukan fokus pengembangan usaha yang akan menjadi fondasi perekonomian Indonesia. UMKM dapat menjadi fondasi ekonomi nasional. Jangan sampai, kita hanya mengingat UMKM pada saat krisis, tetapi setelah krisis tidak diperhatikan,” katanya.
Dalam memperkuat pasar domestik dan internasional, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, asosiasi ritel berperan dalam memberi ruang selama tahap praekspor. Dalam tahap ini, produk-produk UMKM dijual di sejumlah ritel untuk melihat respons masyarakat. Apabila diminati dan disukai, hal ini dapat memberikan kepercayaan diri bagi pelaku UMKM untuk menembus pasar global.
Untuk memperkuat UMKM, Ketua Usaha Kecil dan Menengah-Industri Kecil dan Menengah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ronald Walla menggarisbawahi pentingnya pendampingan yang berkelanjutan dan berjenjang. Pendampingan ini berorientasi membantu UMKM mengurus izin usaha dan mengenalkan mereka pada asosiasi lain yang berkaitan.
Butuh gudang
Menurut Dewi, secara agregat, produk-produk UMKM yang hendak dijual di pasar AS membutuhkan gudang. ”Kita butuh gudang untuk menampung produk-produk Indonesia,” ujarnya.
Agar kebutuhan itu terpenuhi, Adhi menilai pelaku UMKM yang hendak ekspor mesti dikonsolidasi. Dengan demikian, tercipta efisiensi dalam pengiriman dan logistik dengan kontainer serta pergudangan.
Pelaku UMKM yang hendak ekspor mesti dikonsolidasi. Dengan demikian, tercipta efisiensi.
Sementara itu, Roy mengatakan, asosiasi ritel tengah menggarap pembukaan gerai mini di sejumlah negara tujuan ekspor yang menjual produk-produk unggulan Indonesia, khususnya buatan UMKM. Saat ini, dia berkoordinasi dengan kedutaan besar, Indonesia Trade Promotion Center (ITPC), dan atase perdagangan di negara-negara potensial.