Pembagian beban antara pemerintah dan Bank Indonesia akan diperpanjang hingga tahun 2022. Pembagian beban melalui penerbitan SBN khusus BI hanya akan dilakukan dalam situasi luar biasa.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembagian beban antara pemerintah dan Bank Indonesia akan diperpanjang hingga 2022. Hal ini dilakukan seiring ditentukannya pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di atas 3 persen hingga tiga tahun ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dengan adanya keputusan perpanjangan skema pembagian beban ini, Bank Indonesia (BI) akan tetap menjadi pembeli surat berharga negara (SBN) yang tak terjual dalam lelang di pasar perdana.
”Pembagian beban melalui penerbitan SBN khusus BI hanya akan dilakukan dalam situasi luar biasa,” ujarnya.
Pada tahun ini, defisit APBN kembali diproyeksikan melebar dari 5,07 persen menjadi 6,3 persen. Sementara pada 2021, defisit APBN dipatok di level 5,5 persen dan turun bertahap menjadi 3,6 persen pada 2022.
Pembagian beban melalui penerbitan SBN khusus BI hanya akan dilakukan dalam situasi luar biasa.
Saat ini, BI memang telah menjadi pembeli siaga SBN untuk melancarkan program pemulihan ekonomi nasional untuk pembiayaan belanja barang non-publik pada tahun ini. Belanja tersebut terdiri dari bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun dan pembiayaan korporasi non-UMKM Rp 53,57 triliun.
Untuk pembiayaan barang nonpublik UMKM, BI akan memperoleh bunga hanya sebesar reverse repo rate dikurangi 1 persen. Sementara untuk pembiayaan barang nonpublik korporasi, BI memperoleh bunga sebesar reverse repo rate yang saat ini ditetapkan sebesar 4,3 persen.
Tahun ini, skema pembagian beban melalui penerbitan SBN khusus BI dilakukan untuk belanja manfaat publik sebesar Rp 397,56 triliun. Belanja itu terdiri dari belanja kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial (Rp 203,9 triliun), dan sektoral kementerian/lembaga serta pemerintah daerah (Rp 106,11 triliun).
”Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan akan tetap menjaga disiplin kebijakan fiskal dan moneter bersama bank sentral. Selain itu, akan terus menjaga mekanisme pasar yang kredibel dan menjaga kepercayaan para investor pada instrumen SBN,” tutur Sri Mulyani.
Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan akan tetap menjaga disiplin kebijakan fiskal dan moneter bersama bank sentral. Selain itu, akan terus menjaga mekanisme pasar yang kredibel dan menjaga kepercayaan para investor pada instrumen SBN.
Terkait pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Reformasi Sistem Keuangan, Sri Mulyani menuturkan, dalam rancangan tersebut terdapat beberapa usulan kajian. Salah satunya adalah penguatan sistem koordinasi dan integrasi sektor keuangan mikro dan makroprudensial.
Kajian tersebut penting untuk memperkuat basis data dan informasi terintegrasi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Kementerian Keuangan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan tetap dilakukan.
”Apabila dalam kajian tersebut ditemukan indikasi permasalahan, akan dilakukan pemeriksaan dan evaluasi bersama yang akan menjadi dasar bagi lembaga untuk menentukan langkah antisipatif penanganan permasalahan berikutnya,” ujarnya.
Sejalan dengan pembahasan Perppu Reformasi Sistem Keuangan, wacana pengembalian fungsi pengawasan perbankan dari OJK ke BI dimunculkan kembali dalam rancangan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI yang merupakan inisiatif DPR.
Sri Mulyani menegaskan, hingga saat ini pemerintah belum pernah sekalipun membahasan rancangan revisi UU BI tersebut. Pemerintah berpandangan bahwa penataan sistem keuangan harus mengedepankan prinsip tata kelola yang baik, pembagian tugas masing-masing lembaga secara jelas, dan harus ada mekanisme check and balance yang memadai.
”Pemerintah akan berjalan selaras bersama bank sentral untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dengan jelas, Presiden Joko Widodo telah menekankan kalau posisi kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif, serta independen,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR), Hendrawan Supratikno, mengatakan, pembahasan mengenai Perppu Reformasi Sistem Keuangan tak perlu dilakukan terburu-buru. Pasalnya, hingga saat ini belum ada alasan mendesak untuk mendorong reformasi sistem keuangan.
”Penerbitan Perppu Reformasi Sistem Keuangan itu malah bakal memberi guncangan di pasar keuangan dan memunculkan persepsi negatif dari pasar keuangan nantinya. Di masa resesi, pasar lebih butuh isyarat stabilitas,” ujarnya.
Pembahasan mengenai Perppu Reformasi Sistem Keuangan tak perlu dilakukan terburu-buru. Pasalnya, hingga saat ini belum ada alasan mendesak untuk mendorong reformasi sistem keuangan.
Menurut Hendrawan, Baleg DPR saat ini tengah menyusun Rancangan UU (RUU) BI itu membuka peluang membahas dan merevisi kembali pasal-pasal yang menuai kontroversi. RUU BI saat ini masih dalam tahap awal pembahasan untuk menyerap aspirasi masyarakat termasuk ahli.
Kontroversi yang terdapat pada RUU BI tersebut di antaranya adalah penghapusan Pasal 9 UU BI yang menuliskan pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan atas tugas BI. Artinya, kebebasan BI dalam menetapkan kebijakan bakal hilang.
Selain itu, lanjut Hendrawan, pada Pasal 34 berubah menjadi tugas pengawasan bank yang selama ini dilaksanakan oleh OJK dialihkan ke BI. ”Kita lihat nanti, pembahasan masih panjang. Kami masih terbuka terhadap masukan-masukan,” ujarnya.