Kebijakan harga energi di Indonesia, baik itu tarif listrik maupun harga BBM, kerap ditunggangi kepentingan politik populer. Selain tak mendidik masyarakat, cara itu justru membebani badan usaha sebagai penyedia energi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) periode 2011-2014, Nur Pamudji, pernah melontarkan opini yang dimuat di harian Kompas edisi 23 Mei 2014. Ia mewacanakan perubahan pola pikir pemerintah dan masyarakat bahwa ”listrik harus murah” diganti dengan ”listrik harus andal walaupun lebih mahal”.
Pada periode 1994-1997, tarif listrik berubah setiap tiga bulan menyesuaikan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga minyak Indonesia, dan inflasi. Nur Pamudji menyebut, dengan pola seperti itu, PLN memiliki neraca keuangan yang sehat dan memadai untuk mendanai operasi tanpa subsidi dari negara.
Pada 2014, untuk pertama kalinya, PLN masuk dalam daftar Fortune500 di 2014, yakni 500 perusahaan terbesar di dunia berdasarkan pendapatan. Pada 2013, pendapatan PLN sebesar Rp 257,4 triliun atau naik dari 2012 yang sebesar Rp 232,6 triliun. Aset PLN pada 2013 sebesar Rp 595,8 triliun atau meningkat dari 2012 yang sebesar Rp 549,3 triliun.
Kemudian, entah dengan alasan apa, pola penyesuaian tarif listrik berubah sejak 1998. Segala risiko perubahan nilai tukar, harga minyak, dan inflasi dibebankan kepada negara lewat subsidi. Di masa itu, besaran subsidi listrik rata-rata Rp 100 triliun per tahun. Sebagian besar investasi PLN mulai bergantung pada utang.
Kini, utang PLN lebih dari Rp 600 triliun, seperti terungkap dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, beberapa waktu lalu. Pada 2016, pemerintah kembali menerbitkan kebijakan tarif listrik, seperti halnya harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi, bisa berubah setiap tiga bulan.
Khusus tarif listrik ditambah satu komponen, yaitu harga batubara. Hal ini menjadi masuk akal karena 65 persen sumber energi primer pada pembangkit listrik memakai batubara. Akan tetapi, kebijakan tersebut tak berumur panjang.
Harga premium dan solar bersubsidi, misalnya, tak berubah-ubah lagi kendati harga minyak mentah naik-turun, termasuk perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pemerintah menambal dengan subsidi (lewat APBN) dan dana kompensasi (tidak melalui APBN) yang secara tertib administrasi keuangan berdampak buruk terhadap kinerja arus kas badan usaha.
Membedah data PLN yang menyebutkan tak ada kenaikan tarif listrik sejak 2015, bahkan cenderung turun, terasa ironis dengan utang PLN yang terus meningkat. Pada 2015, tarif listrik tegangan rendah Rp 1.548 per kWh dan posisi utang PLN ketika itu hampir Rp 500 triliun. Kini, tarif listrik tegangan rendah diturunkan menjadi Rp 1.444 per kWh dengan posisi terakhir utang PLN lebih dari Rp 600 triliun.
Membedah data PLN yang menyebutkan tak ada kenaikan tarif listrik sejak 2015, bahkan cenderung turun, terasa ironis dengan utang PLN yang terus meningkat.
Penurunan tarif listrik periode Oktober sampai dengan Desember 2020 dilakukan dengan alasan menaikkan daya beli masyarakat. Pandemi Covid-19 sejak Maret telah merontokkan sendi-sendi perekonomian. Pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen pada triwulan II-2020 dan Indonesia di ambang resesi. Angka kemiskinan naik seiring penambahan jumlah penganggur.
Kebijakan penurunan tarif listrik berlaku untuk tegangan rendah, salah satunya pelanggan golongan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500-5.5000 VA, dan 6.600 VA ke atas. Kelompok ini adalah kategori pelanggan nonsubsidi atau termasuk pelanggan yang mampu. Pelanggan listrik golongan rumah tangga yang masih disubsidi adalah daya 450 VA dan 900 VA tidak mampu. Mereka sudah menikmati stimulus tarif sejak April 2020 berupa pembebasan tagihan rekening listrik untuk daya 450 VA dan diskon tarif 50 persen untuk daya 900 VA tidak mampu.
Dalam pernyataan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang penurunan tarif listrik disebutkan, ada kemungkinan tarif listrik kembali berubah dengan pertimbangan empat faktor, yaitu harga batubara, harga minyak mentah, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan inflasi. Artinya, tarif listrik bisa naik atau turun. Penurunan tarif listrik tegangan rendah ini semacam sinyal pemerintah kepada masyarakat bahwa tarif listrik sangat wajar untuk naik atau turun sesuai situasi dan kondisi.
Lalu, apakah tarif listrik harus murah? Apa artinya tarif murah apabila kinerja keuangan badan usaha penyedia listrik sangat berisiko dengan posisi utang yang menggunung? Apa maknanya listrik murah, tetapi masih banyak masyarakat yang belum menikmati listrik dan yang sudah menikmati pun masih kerap mengalami ”byar-pet”? Terus-menerus mengandalkan subsidi juga kurang bijak.
Apa artinya tarif murah apabila kinerja keuangan badan usaha penyedia listrik sangat berisiko dengan posisi utang yang menggunung?
Apalagi, subsidi diperoleh dari utang. Pemerintah harus mengembalikan kebijakan harga energi yang terukur dan rasional. Mengutip pernyataan salah satu ekonom senior, pemerintah sebaiknya berhenti bersandiwara dengan harga energi.