Penerimaan Perpajakan Semakin Tertekan akibat Pandemi
Penerimaan perpajakan pada 2020 diproyeksikan hanya Rp 1.239 triliun atau sekitar 93 persen dari target. Penerimaan negara akan mengalami tekanan yang signifikan semasa pandemi Covid-19.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan negara akan mengalami tekanan yang signifikan semasa pandemi Covid-19. Tekanan terhadap penerimaan harus dibarengi perbaikan indikator-indikator kesehatan dalam negeri agar risiko ke depan tidak semakin besar.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menuturkan, realisasi penerimaan perpajakan akan sulit mencapai target sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan APBN 2020. Pandemi menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan.
Proyeksi juga diperkuat data-data penerimaan perpajakan tahun sebelumnya. Penerimaan perpajakan tidak pernah mencapai target 100 persen sejak 2008.
Nailul menjelaskan, rata-rata realisasi penerimaan perpajakan selama satu dekade terakhir sekitar 93 persen dari target. Titik terendah pada 2015 yang hanya 83,29 persen. Penerimaan perpajakan dalam skenario moderat diproyeksikan Rp 1.239 triliun atau sekitar 93 persen dari target 2020.
”Penerimaan perpajakan tahun ini akan sangat rendah yang bisa menimbulkan pembengkakan defisit APBN,” kata Nailul Huda dalam seminar daring bertajuk ”Jalan Terjal Penerimaan Negara”, Kamis (3/9/2020).
Penerimaan perpajakan tahun ini akan sangat rendah yang bisa menimbulkan pembengkakan defisit APBN.
Mengutip data Kementerian Keuangan, penerimaan perpajakan per 31 Juli terealisasi Rp 711 triliun atau 50,6 persen dari target dalam Perpres No 72/2020, yakni Rp 1.404,5 triliun. Realisasi tumbuh negatif 12,3 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Nailul Huda mengemukakan, anjloknya penerimaan perpajakan dipengaruhi penurunan pajak dari sektor manufaktur dan perdagangan. Setoran pajak dari sektor menufaktur per Juli 2020 tumbuh minus 14,5 persen, sementara sektor pedagangan minus 15,3 persen. Padahal, kontribusi kedua sektor terhadap total penerimaan mencapai 80 persen.
Rendahnya kinerja perpajakan Indonesia sejatinya telah terlihat dari sebelum pandemi. Rasio perpajakan pada 2019 menyentuh angka satu digit, yakni 9,8 persen. Rasio pajak pada 2019 merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. Bahkan, rasio pajak menunjukkan tren penurunan gradual sejak 2013.
”Rasio perpajakan terus merosot yang jelas mencerminkan penurunan kinerja perpajakan,” kata Nailul.
Nailul menekankan, data-data tersebut mencerminkan tekanan terhadap penerimaan perpajakan terasa sejak sebelum terjadinya pandemi. Namun, tekanan itu semakin besar manakala pandemi menyerang. Penurunan penerimaan perpajakan selama pandemi dapat diterima jika dibarengi perbaikan indikator-indikator kesehatan.
Di tengah pandemi, penurunan penerimaan perpajakan dapat dimaklumi karena aktivitas ekonomi juga menurun signifikan. Pemerintah harus mendahulukan penanganan Covid-19 ketimbang target perpajakan.
”Masalahnya saat ini, penerimaan perpajakan tergerus dan kasus baru Covid-19 terus meningkat,” ujarnya.
Aktivitas ekonomi
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, sejauh ini aktivitas ekonomi Juli ke Agustus lebih baik dibandingkan dengan aktivitas serupa dari Mei ke Juni. Namun, penambahan aktivitas ekonomi tidak secepat ekspektasi.
Pemerintah terus memantau dampak aktivitas ekonomi ke penerimaan perpajakan. Dari hasil pemantauan BKF, pemulihan ekonomi nasional belum solid dan masih sangat rapuh.
”Indikasi pemulihan ekonomi sempat terlihat pada Juni 2020, berupa realisasi penerimaan pajak. Namun, penerimaan pajak pada Juli kembali terkontraksi cukup dalam,” ucapnya.
Indikasi pemulihan ekonomi sempat terlihat pada Juni 2020, berupa realisasi penerimaan pajak. Namun, penerimaan pajak pada Juli kembali terkontraksi cukup dalam.
Realisasi penerimaan pajak per Juli 2020 sebesar Rp 601,9 triliun atau tumbuh negatif 14,7 persen. Sebelumnya, pada Juni, pertumbuhan negatif sempat melandai dibandingkan dengan April dan Mei. Namun, tren pemulihan tidak bertahan seperti perkiraan semula.
Pada Juli, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menggambarkan aktivitas konsumsi masyarakat kembali turun 12 persen secara tahunan. Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) karyawan dan korporasi juga kembali masuk zona negatif, masing-masing terkontraksi 20,38 persen dan 45,55 persen.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, menekankan, pemerintah harus mencari sumber penerimaan baru untuk mencapai target. Namun, kebijakan yang digulirkan jangan sampai menyebabkan distorsi dalam upaya memulihkan kondisi ekonomi.
Pemberian insentif pajak tetap diperlukan karena kondisi ekonomi belum stabil. Dalam skenario pemulihan ekonomi, insentif pajak untuk reinvestasi dan pembiayaan sangat diperlukan.
”Pemerintah juga dapat mengubah paradigma relaksasi ke orientasi yang lebih mendorong kepastian dalam sistem pajak, bukan sekadar mengurangi atau membebaskan pajak,” ujarnya.