Larangan bagi pemegang izin dalam waktu lama dari Indonesia masuk ke Malaysia merupakan peringatan keras agar Indonesia menangani pandemi Covid-19 dengan baik.
Oleh
M Paschalia Judith J/Agnes Theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Malaysia melarang pemegang izin kunjungan berjangka waktu lama dari Indonesia, India, dan Filipina masuk ke negaranya. Pelaku usaha dan industri menilai larangan ini muncul akibat citra dan preseden atas pengendalian Covid-19 di Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan dalam jangka pendek lantaran ada pertemuan virtual. ”Namun, kami khawatir, larangan ini dapat menjadi preseden bagi negara lain untuk menggunakan isu pengendalian Covid-19 di Indonesia dalam membatasi atau mendiskriminasi produk, perusahaan, dan pekerja Indonesia di luar negeri,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (2/9/2020).
Dalam jangka menengah-panjang, tambah Shinta, larangan itu akan mengganggu kinerja ekspor sektor jasa nasional, misalnya jasa alih daya yang menyalurkan tenaga kerja semi-terampil Indonesia ke Malaysia dan negara-negara lain. Larangan dari Pemerintah Malaysia juga menjadi hambatan investasi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi penanaman modal dari Malaysia di Indonesia pada Januari-Juni 2020 mencapai 795,6 juta dollar AS. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan realisasi pada Januari-Juni 2019 yang sebesar 1,04 miliar dollar AS.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor nonmigas Indonesia ke Malaysia senilai 3,58 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2020. Nilai ini lebih rendah 19,94 persen secara tahunan.
Shinta menggarisbawahi, hubungan investasi dan perdagangan dengan Malaysia dan negara-negara lain penting dalam pemulihan ekonomi. ”Apabila Indonesia terus-menerus dicitrakan sebagai negara yang ’tidak aman’ dari Covid-19 oleh banyak negara, upaya pemulihan sektor pariwisata nasional juga bisa terganggu karena wisatawan asing akan enggan ke Indonesia,” katanya.
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian Covid-19 di Tanah Air sehingga negara lain tidak menggunakan isu ini untuk membatasi kegiatan usaha di Indonesia. Salah satu caranya adalah meningkatkan layanan kesehatan.
Peringatan
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Rabu (2/9/2020), mengatakan, respons negara lain terhadap penanganan Covid-19 di Indonesia seharusnya menjadi peringatan keras. Kebijakan serupa dari Malaysia bisa saja dilakukan pemerintah negara lain. Faktanya, Indonesia masih kesulitan mengendalikan penularan Covid-19 di dalam negeri.
Hingga kini, aspek kesehatan belum teratasi dengan baik, tetapi pemerintah sudah melonggarkan pembatasan sosial. Masyarakat sudah kembali beraktivitas secara normal. Akibatnya, angka penularan terus meningkat dan mencapai rekor hampir setiap hari.
Pemerintah dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian Covid-19 di Tanah Air sehingga negara lain tidak menggunakan isu ini untuk membatasi kegiatan usaha di Indonesia.
Melihat kenyataan penanganan Covid-19 di dalam negeri dan tren kehati-hatian dari dunia internasional, Wahyu menilai kebijakan pemerintah untuk tetap menempatkan pekerja migran ke luar negeri di tengah pandemi tidak realistis.
”Kebijakan itu menjadi tidak realistis karena masih banyak negara yang menutup pintu,” katanya.
Saat ini, Indonesia masih berusaha menjajaki perjanjian akses masuk atau travel corridor dengan Singapura. Singapura berencana membuka kunjungan di masa pandemi pada 8 September 2020, tetapi sejauh ini izin masuk baru berlaku untuk Selandia Baru dan Brunei Darussalam.
”Masih banyak negara yang menerapkan restriksi perjalanan, tidak hanya Malaysia, tetapi juga negara-negara utama tujuan buruh migran kita seperti Singapura dan Arab Saudi,” kata Wahyu.
Pada Juli 2020, pemerintah mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Pemerintah mengeluarkan peraturan baru, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 294/2020 tentang Pelaksanaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.
Kebijakan itu menuai kritik dari aktivis buruh migran. Menurut Wahyu, pemerintah selalu melihat penempatan pekerja migran sebagai ”pahlawan devisa” dan solusi krisis ekonomi. Namun, kontribusi besar pekerja migran ini kerap tidak diiringi dengan pemenuhan hak dan perlindungan yang memadai terhadap pekerja migran. Di tengah pandemi, hal itu terulang.
”Pemerintah ingin menambal kemerosotan ekonomi kita karena penerimaan remitansi merosot saat pandemi. Namun, tentu kita tidak ingin, hanya demi remitansi, pekerja migran menjadi kelinci percobaan,” katanya.
Bank Indonesia mencatat, nilai remitansi atau transfer uang dari para pekerja migran Indonesia ke dalam negeri selama ini paling banyak berasal dari Malaysia dan Arab Saudi. Dua negara itu juga menjadi negara tujuan utama pekerja migran.
Pasca-Covid-19, pada triwulan I-2020 dan triwulan II-2020, remitansi merosot drastis. Penerimaan dari pekerja migran Malaysia, yang pada 2019 mencapai 3,68 miliar dollar AS, menurun tajam hingga hanya 863 juta dollar AS pada triwulan I-2020 dan 743 juta dollar AS pada triwulan II-2020.
Adapun jumlah pekerja migran Indonesia yang tercatat bekerja di Malaysia pada triwulan II-2020 sebanyak 1,701 juta orang. Pada 2019, jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia sebanyak 1,883 juta orang.
Perlu perlindungan
Direktur Pusat Penyelesaian Permasalahan WNI di Malaysia Dato M Zainul Arifin mengatakan, sampai hari ini ketidakpastian masih membayangi para pekerja migran, baik yang tertahan di Malaysia karena tidak bisa pulang maupun yang tertahan di Indonesia karena tidak bisa berangkat kerja.
”Mereka sudah mengeluh tidak ada perhatian dari pemerintah terkait solusi, apalagi bantuan materi untuk mereka. Bansos yang dijanjikan pemerintah tidak mencapai mereka sebab mereka tidak terdata sebagai penerima,” katanya.
Zainul Arifin menambahkan, pekerja migran memerlukan dua hal. Pertama, bantuan sosial berupa materi untuk dapat bertahan menyambung hidup hingga keberangkatan dibuka kembali. Apalagi, mayoritas pekerja migran Indonesia adalah masyarakat dari kelas ekonomi bawah dan perempuan.
Kedua, ada kepastian dari pemerintah mengenai pembukaan kembali penempatan bekerja di seluruh negara tujuan. Namun, hal ini tidak bisa tercapai jika penanganan kesehatan tidak optimal. Pemerintah Indonesia juga dinilai gagal meyakinkan negara tujuan bahwa pekerja migran Indonesia siap bekerja ke negara-negara tujuan dengan protokol kesehatan yang ketat.
”Bahkan, sampai saat ini belum diputuskan siapa yang akan menanggung biaya rapid test para calon pekerja. Apakah pemerintah kita atau negara tujuan penempatan? Ini berdampak terhadap pekerja migran kita. Jika ini terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pemberangkatan pekerja ke luar negeri secara nonprosedural atau ilegal,” katanya.
Mereka sudah mengeluh tidak ada perhatian dari pemerintah terkait solusi, apalagi bantuan materi untuk mereka.
Pemerintah memahami
Terkait hal ini, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan, pemerintah dapat memahami kebijakan Pemerintah Malaysia. Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 294/2020 mengatur, pembukaan penempatan pekerja migran dilakukan bertahap dengan mempertimbangkan kebijakan negara tujuan. Untuk tahap pertama, penempatan hanya dibuka untuk 14 negara, tidak termasuk Malaysia.
”Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Malaysia dapat dipahami dalam konteksnya dengan perlindungan pekerja migran Indonesia. Jika Malaysia nanti sudah membuka kembali, kita akan segera memproses penempatan,” katanya.
Pemerintah dan BP2MI saat ini tetap melakukan penjajakan ke negara lain yang mau membuka kembali penempatan pekerja migran dari Indonesia. Sampai dengan 31 Agustus 2020, sebanyak 703 pekerja migran didata untuk ditempatkan ke Hong Kong. Dalam waktu dekat, akan dimulai kembali penempatan ke Taiwan.
”Untuk pekerja migran dan calon pekerja migran yang terdampak pandemi, kami akan fasilitasi lewat program-program pemberdayaan ekonomi, pembebasan biaya, dan perluasan kesempatan kerja di dalam negeri,” ujar Benny.