Stiker kode respons cepat di etalase pedagang kaki lima hanya menjadi pajangan. Banyak pedagang belum merasakan kepraktisan uang elektronik.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — ”Sekarang sudah bisa bayar pakai Gopay? Kalau bisa, saya mau bayar, nih. Sayang, punya saldo Rp 100.000 nganggur,” kata Irawan, karyawan swasta, kepada penjual jus buah di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Julia, sang pedagang jus, kebetulan baru saja melayani pembeli yang memaksa membayar dengan uang elektronik. Permintaan tersebut ia penuhi kendati ia tidak memiliki dompet digital khusus usaha yang masih aktif. Bagaimana pun, ia tetap menampung transaksi tersebut ke akun aplikasi dompet digital pribadinya.
”Setahun lalu, saya didaftarin salah satu aplikasi, terus gerobak saya ditempeli ini (stiker kode respons cepat). Namun, sudah lama enggak saya aktifkan,” katanya saat ditemui, Kamis (3/9/2020).
Meski aplikasi dompet digital yang ditawarkan kepadanya ia kelola sendiri, masih banyaknya pembeli yang membayar dengan uang tunai menjadi alasannya untuk menonaktifkan aplikasi tersebut.
Juriah, penjual gudeg dalam gerobak di kawasan sama, juga masih lebih sering melayani transaksi tunai daripada uang elektronik. ”Orang yang beli di sini seringnya pakai tunai, sih. Walaupun ada saja yang tanya apa bisa pakai OVO setelah liat stikernya. Namun, ini sudah lama enggak aktif,” ujarnya.
Kurang lebih setahun, ia didaftarkan penyedia dompet digital OVO untuk masuk ekosistem digital mereka, yang terintegrasi dengan aplikasi beli dan antar makanan. Alat pembayaran itu sayangnya hanya diaktifkan selama delapan bulan karena ponsel yang digunakan untuk mengakses aplikasi dibawa anaknya.
Selain kendala ponsel, uang hasil transaksi digital itu menurut dia juga tidak bisa langsung diambil dan dipakai untuk berbelanja. Sementara, setiap sore setelah berjualan sejak pukul 10.00, ia harus kembali ke pasar untuk berbelanja dan memasak keesokan paginya.
Ketidakpraktisan mengakses uang dari hasil transaksi digital juga dikeluhkan Khalimi, yang memiliki warung nasi. Dalam kurun dua bulan, ia ditawarkan dua penyedia dompet digital, yakni Gopay dan Bank Danamon.
Keduanya meninggalkan stiker kode respons cepat di gerobak jualannya, tetapi kini hanya tersisa satu dari Danamon yang baru dipasang sebulan lalu. Sejauh ini, ia juga belum menggunakan layanan pembayaran digital itu karena masih menunggu pengurusan aplikasi dari bank yang menyediakan layanan.
”Kalau bayar pakai ini (dompet digital), sih, langsung masuk rekening bank. Akan tetapi, jatuhnya ribet karena harus cari ATM dulu kalau mau belanja. Sementara kita butuhnya cepat kalau mau beli apa-apa,” tuturnya.
Momentum
Head of High Tech, Property & Consumer Goods Industry MarkPlus Inc Rhesa Dwi Prabowo berpendapat, meningkatnya kebutuhan transaksi yang minim kontak dan terdigitalisasi di tengah pandemi menjadi momentum memperkuat ekosistem digital, termasuk di kalangan pelaku usaha terkecil, seperti pegadang kaki lima dan pedagang di pasar tradisional.
”Kita lihat pedagang warteg. Mereka punya komunitas dan omzetnya miliaran per hari, tetapi belum banyak yang dimasuki perusahaan dompet digital karena memang masih nyaman tunai atau kurang edukasi. Padahal, pembelinya sudah punya ponsel pintar,” ujarnya.
Dalam konferensi pers bertajuk ”Riset Pertumbuhan Dompet Digital di Masa Pandemi”, Rabu (2/9), ia menyebut laporan Bank Indonesia yang mencatat kenaikan transaksi digital semenjak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sampai 64,48 persen, dengan volume transaksi digital bertumbuh 37,35 persen secara tahunan.
”Industri ini dianggap memiliki potensi besar untuk bertumbuh, terlebih dengan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menggunakan sistem pembayaran nontunai ketika berbelanja secara online selama pandemi, terutama di masa penerapan PSBB,” katanya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, pada kesempatan sama, berpendapat, pertumbuhan transaksi digital juga menjadi momentum untuk memulihkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di tengah pandemi.
Transaksi digital bisa membantu menjaga kapasitas penjualan dan transaksi UMKM, mengingat pandemi yang tidak tahu kapan berakhir masih akan mengurangi aktivitas sosial masyarakat dan meningkatkan kebutuhan transaksi digital.
”Ini momentum yang harus dijaga untuk memulihkan ekonomi dan mendorong UMKM lebih banyak pakai dompet digital. Apalagi, UMKM kita 90 persennya masuk kategori mikro. Jadi, harapannya, pihak swasta dan pemerintah mau bersama-sama meningkatkan ekosistem digital,” tuturnya.