Antara Mendongkrak Pasar dan Inkonsistensi Kebijakan
Inkonsistensi kebijakan dalam melaksanakan program prioritas perlu diakhiri. Seluruh energi hendaknya difokuskan untuk memperkuat produksi, sinergi antarpelaku usaha, dan menggarap peluang pasar.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan sektor perikanan Indonesia dilaporkan positif pada semester I-2020. Ketika pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh dunia, permintaan terhadap komoditas perikanan cenderung stabil dan cenderung meningkat memasuki paruh tahun.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume ekspor perikanan hingga Juni 2020 sebesar 596.170 ton dengan nilai 2,41 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Nilai ekspor itu tumbuh 6,9 persen secara tahunan. Beberapa komoditas yang memberikan andil besar untuk ekspor berturut-turut adalah udang, tuna-cakalang, rumput laut, cumi-sotong gurita, dan ikan kembung. Sementara, dari sisi nilai, penyumbang terbesar ekspor adalah udang, tuna-cakalang, dan rumput laut.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik merilis, per Agustus 2020, nilai tukar nelayan (NTN) dan nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) naik masing-masing 0,37 persen dan 0,19 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Ini berarti indeks harga yang diterima pelaku usaha perikanan lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang dibayarkan.
Komoditas udang bahkan menunjukkan tren peningkatan ekspor. Volume ekspor udang tercatat 116.000 ton atau naik 23 persen secara tahunan, dengan nilai ekspor sebesar 954,7 juta dollar AS atau meningkat 23,8 persen secara tahunan. Kenaikan permintaan antara lain dari pasar utama ekspor, yakni China dan AS.
Peluang permintaan pasar global terhadap komoditas udang sejalan dengan program prioritas perikanan Indonesia periode 2019-2024. Beberapa komoditas perikanan budidaya difokuskan untuk digenjot dalam kurun 2020-2024, yakni udang, rumput laut, kerapu, bawal bintang, kakap putih, dan lobster.
Potensi perikanan budidaya sejatinya lebih besar daripada perikanan tangkap. Namun, realitasnya, ekspor perikanan lebih didominasi perikanan tangkap, yakni 65 persen. Tantangan yang muncul adalah realisasi program untuk mendorong produktivitas budidaya.
Kesiapan mendorong perikanan budidaya tidak hanya dari tataran perencanaan, tetapi juga butuh dukungan aspek hulu-hilir, seperti perizinan, infrastruktur, pakan, manajemen penyakit ikan, serta manajemen produksi dan bisnis. Di sisi hilir, penguatan logistik dan akses pasar.
Masa pandemi Covid-19 telah mendorong pola belanja digital. Jangkauan pasar ritel yang kian luas seiring penetrasi pemasaran berbasis digital adalah peluang pasar yang perlu digarap secara serius. Ini antara lain terlihat dengan bertambahnya usaha-usaha rintisan perikanan di bidang pemasaran.
Sektor pangan, seperti perikanan, merupakan salah satu sektor andalan yang bisa bertahan dan tumbuh di tengah pandemi.
Digifish Network mencatat, per Agustus 2020, jumlah usaha rintisan perikanan yang terdata mencapai 30 usaha. Jumlah itu meningkat dibandingkan Agustus 2019, yakni 18 usaha rintisan. Penambahan itu terutama berasal dari usaha rintisan yang masuk ke bisnis pemasaran. Pemasaran berbasis digital bahkan merambah ke sejumlah daerah dengan sarana media sosial hingga e-dagang.
Sektor pangan, seperti perikanan, merupakan salah satu sektor andalan yang bisa bertahan dan tumbuh di tengah pandemi. Namun, upaya mendongkrak produksi dan pasar membutuhkan keseriusan program pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan.
Inkonsistensi kebijakan
Konsistensi pasokan benih dan pakan menjadi instrumen dasar menggenjot produksi. Pelaku budidaya lobster, misalnya, kini menghadapi kesulitan benih lobster dengan harga terjangkau sejak pemerintah membuka keran ekspor benih bening lobster per Mei 2020. Jorjoran ekspor benih membuat benih sulit didapat dan menghambat upaya membesarkan budidaya lobster di Tanah Air.
Di sisi lain, dari ekspor sekitar 100.000 ekor benih lobster pada 12 Juni 2020, negara hanya mendapatkan Rp 34.375 dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ini karena tarif pengenaan PNBP masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Inkonsistensi kebijakan dalam melaksanakan program prioritas perlu diakhiri. Seluruh energi hendaknya difokuskan untuk memperkuat produksi, sinergi antarpelaku usaha, dan menggarap peluang pasar.
Berdasarkan PP tersebut, tarif jasa pemeriksaan klinis benih crustacea (jenis udang, rajungan, kepiting, lobster) ditetapkan Rp 250 per 1.000 ekor, sertifikat kesehatan (HC) senilai Rp 5.000 per sertifikat, dan pemeriksaan laboratorium sesuai spesifikasi persyaratan. Kebijakan ekspor itu justru bisa memicu eksploitasi besar-besaran benih lobster.
Inkonsistensi kebijakan dalam melaksanakan program prioritas perlu diakhiri. Seluruh energi hendaknya difokuskan untuk memperkuat produksi, sinergi antarpelaku usaha, dan menggarap peluang pasar.