Penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional membawa pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Apakah kebijakan ini akan berpihak pada pemberdayaan nelayan kecil atau pada korporasi besar?
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memberikan sambutan dalam kunjungan kerja di Ambon, Maluku, Minggu (30/8/2020).
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melakukan lawatan ke Ambon, Maluku, selama tiga hari mulai Minggu (30/8/2020). Ia datang untuk menjawab janji pemerintah pusat kepada masyarakat Maluku terkait hak pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di Maluku, yang diklaim memiliki potensi sekitar 4 juta ton per tahun atau setara dengan 30 persen potensi nasional.
”Pemerintah pusat di bawah pimpinan Bapak Presiden Joko Widodo ingin menuntaskan utang-utang pemerintah pusat dengan Provinsi Maluku. Kami tidak ingin lumbung ikan nasional hanya sekadar simbol, tapi kami langsung mengimplementasikan lumbung ikan nasional ini menjadi kenyataan,” kata Edhy.
Edhy menyampaikan hal itu saat tatap muka dengan sejumlah pejabat Maluku dan nelayan di Ambon beberapa jam setelah mendarat di Ambon. Turut hadir Gubernur Maluku Murad Ismail dan dua anggota DPR asal Maluku, Abdullah Tuasikal dari Partai Nasdem dan Hendrik Lawerissa dari Partai Gerindra.
Benar, janji pemerintah pusat itu pertama kali disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka Sail Banda di Ambon pada 10 Agustus 2010. Saat pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mengusung visi kemaritiman berkuasa, masyarakat Maluku kembali menagih janji yang sudah berusia satu dasawarsa itu. Edhy secara tegas menyatakan, Maluku sebagai lumbung ikan nasional.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Ikan Desa Eri, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku, pada Kamis (30/7/2020) pagi.
Menurut Edhy, Maluku dengan kekayaan perikanan layak ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional. Perairan Maluku masuk dalam tiga wilayah pengelolaan perikanan. Ada Laut Arafura, Laut Seram, dan Laut Banda. Menurut data yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, diperkirakan potensi tangkapan 4 juta ton per tahun atau setara dengan 30 persen potensi nasional.
Namun, Edhy tidak menjelaskan secara rinci bentuk nyata lumbung ikan nasional. Seperti apa model lumbung ikan nasional itu, baik dari sisi kelembagaan maupun payung hukumnya. Saat konferensi pers pada hari kedua kunjungan, yakni Senin (31/8/2020), media menanyakan itu. Akan tetapi, jawaban Edhy belum memuaskan.
Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Pattimura Ambon Prof Alex Retraubun, yang terlibat aktif dalam perjuangan lumbung ikan nasional, mengatakan, semangat lumbung ikan nasional adalah perikanan Maluku perlu dikelola secara khusus. Kekhususan dimaksud terkait kelembagaan dan payung hukum.
”Kalau Aceh dan Papua diberi otonomi khusus, lalu mengapa Maluku dengan kekayaan laut terbanyak di negara ini tidak diberi kekhususan? Yang diminta masyarakat Maluku adalah otonomi asimetris terkait pengelolaan perikanan. Dengan cara ini, masyarakat Maluku didorong bangkit dari sektor perikanan,” ujarnya.
Namun, hingga Selasa (1/9/2020) pagi, saat Edhy dan rombongan meninggalkan Ambon, tanda tanya itu belum dijawab. Sebaliknya, yang menguat adalah sinyal kecurigaan. Sinyal itu muncul dari ucapan Edhy terkait korporasi perikanan yang pada tahun 2015 diberi sanksi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, lembaga yang kini Edhy pimpin.
Adalah PT Pusaka Benjina Resources, anak perusahaan Pusaka Benjina Group. Perusahaan itu diberi sanksi lantaran dianggap telah melakukan sejumlah pelanggaran di sektor perikanan yang masuk kategori penangkapan ilegal, tidak terdaftar, dan tidak sesuai regulasi. Bahkan, perusahaan tersebut terlibat dalam praktik perbudakan nelayan asing dari sejumlah negara, seperti Thailand dan Myanmar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kala itu mencabut SIUP PT Pusaka Benjina Resources, anak perusahaan Pusaka Benjina Group. Modus kejahatan yang dilakukan grup usaha perikanan itu hampir serupa, antara lain registrasi ganda (double registered) kapal buatan luar negeri di Indonesia dan negara asal kapal, mempekerjakan anak buah kapal (ABK) dan nakhoda asing, serta tidak mengaktifkan sistem monitor kapal (VMS) dan sistem pelacakan otomatis (Kompas, 23/6/2015).
Dalam lama resmi Mahkamah Agung RI pun disebutkan, hakim pada Pengadilan Perikanan Tual telah memutus bersalah Hermanwir Martino, penanggung jawab PT Pusaka Benjina Resources. Dalam putusan bernomor 112/PID.SUS/2015/PN TUL itu disebutkan, Hermanwir dijatuhi pidana penjara tiga tahun dan denda Rp 160 juta. Hermanwir dianggap dengan sengaja membantu dan memberikan sarana untuk melakukan tidak pidana perdagangan orang.
KOMPAS/FRANS PATI HERIN
Kapal-kapal eks asing berlabuh di Pelabuhan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, Sabtu (3/3/2018).
Dalam keterangan pers di Ambon, Edhy menyatakan bahwa perbudakan di Benjina adalah sebuah fitnah. Ia pun ingin menghidupkan kembali perikanan di Benjina yang kini sudah redup. ”Ada Benjina, dulu hanya difitnah dengan seolah-olah ada perbudakan,” ujar Edhy.
Korporasi perikanan
Collin Leppuy, tokoh muda Maluku, menduga ketidakjelasan model lumbung ikan nasional menyiratkan ada kepentingan tertentu di balik rencana tersebut. Ia menduga ada kepentingan korporasi besar yang membonceng dalam program lumbung ikan. ”Saya melihat LIN (lumbung ikan nasional) ini pasti dikelola secara koorporatif, yaitu dengan melibatkan pemilik modal. Jika itu terjadi, sangat merugikan nelayan-nelayan kecil,” ujarnya.
Ia menuturkan, Maluku punya pengalaman buruk dengan Banda Sea Agreement pada tahun 1968, kesepakatan antara Indonesia dan Jepang untuk mengeksploitasi ikan tuna di Laut Banda yang merupakan wilayah penangkapan tuna terbaik dunia. ”Laporan resmi dari Japan Fishery Agency pada periode 1970-1979 menunjukkan bahwa hasil tangkapan tuna nelayan Jepang di Laut Banda sebesar 40.000 ton dengan nilai 20 juta dollar AS,” ungkapnya.
Jadi, saya sangat mencurigai LIN ini akan dikelola secara koorporasi karena sudah pasti ada pemegang modal di balik kebijakan ini.
Tak berhenti di situ, lanjut Collin, kebijakan Susi Pudjiastuti saat menjabat Menteri KKP mengirim ribuan kapal ikan dari pantai utara Pulau Jawa mengeksploitasi potensi perikanan Maluku, terutama di Laut Arafura. Sementara, nelayan setempat tidak diberi porsi pemberdayaan yang adil. Nelayan lokal malah semakin terpuruk dari waktu ke waktu. Selama kapal-kapal itu beroperasi, tak ada manfaat yang diperoleh pemerintah daerah.
”Jadi, saya sangat mencurigai LIN ini akan dikelola secara koorporasi karena sudah pasti ada pemegang modal di balik kebijakan ini. Maluku sedang dipaksa masuk ke dalam sistem eksploitasi perikanan gaya baru dengan resep bernama LIN. Kita tunggu saja regulasi payung LIN yang sedang ditetapkan KKP. Di situ kita bisa analisis seberapa besar negara memberi ruang pada korporasi,” katanya.
Bola kini ada di tangan Edhy. Apakah kebijakannya berpihak pada pemberdayaan nelayan kecil atau pada korporasi besar. Tentu akan menjadi pertanyaan kalau Edhy malah memberi ”karpet merah” pada korporasi yang pernah diberi tanda merah oleh pemerintah pada masa lampau.