Jangan Jatuh Tertimpa Tangga
Indonesia diproyeksikan terjerembap ke dalam zona pertumbuhan ekonomi negatif tahun ini. Gelontoran stimulus ternyata belum mampu menahan dampak pandemi Covid-19 yang menggerogoti aktivitas ekonomi.
Pada awal pandemi Covid-19, sejumlah pihak sudah mengingatkan, tangani dulu krisis kesehatannya, baru melangkah ke penanganan krisis ekonomi.
Hingga enam bulan setelah kasus pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020, jumlah kasus Covid-19 masih meningkat. Di sisi lain, kondisi ekonomi juga merosot tajam.
Di tengah situasi ini, pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pemerintah berdalih, pembatasan sosial membuat gerak roda perekonomian macet. Oleh karena itu, masa transisi diharapkan membuat kegiatan ekonomi kembali bergulir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia berbalik, dari tumbuh 2,97 persen pada triwulan I-2020 menjadi terkontraksi 5,32 persen. Penyebab utamanya, konsumsi rumah tangga yang tumbuh 2,83 persen pada triwulan I-2020 menjadi terkontraksi 5,51 persen pada triwulan II-2020. Padahal, konsumsi rumah tangga berperan 55-57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Ekonomi suatu negara dalam kondisi resesi jika pertumbuhannya negatif atau minus pada dua triwulan berturut-turut. Jika pertumbuhan ekonomi RI pada periode Juli-September terkontraksi atau minus, Indonesia masuk ke jurang resesi.
Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menuturkan, dengan pelonggaran PSBB, bukan berarti Indonesia sudah melewati titik terendah pertumbuhan ekonomi. Geliat kegiatan ekonomi masih jauh dari normal sehingga pertumbuhan negatif masih membayangi.
Ia juga menekankan, pembukaan kegiatan ekonomi tak bisa mengesampingkan pengendalian virus. Situasi bisa lebih buruk jika pelonggaran PSBB tidak dibarengi penerapan protokol kesehatan. Jika hal ini terjadi, PSBB bisa kembali diberlakukan karena kasus Covid-19 meningkat. Pemerintah harus menghindari situasi itu.
”Syarat utama mencegah kondisi ekonomi semakin buruk hanya dengan pengendalian virus yang efektif dan protokol kesehatan yang ketat,” ujarnya.
Pembukaan kegiatan ekonomi dan penerapan protokol kesehatan ibarat dua sisi mata uang. Jika protokol kesehatan lemah, sektor-sektor penopang perekonomian akan terkena dampak pandemi sehingga menimbulkan kontraksi PDB. Sektor paling terdampak di antaranya perdagangan dan ritel serta manufaktur.
Menurut Enrico, sebenarnya pertumbuhan ekonomi negatif, bahkan ancaman resesi, sudah diantisipasi pelaku pasar. Kondisi pasar relatif terkendali karena pengaruh kebijakan pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Suku bunga rendah akan memicu pertemuan antara permintaan dan penawaran.
Sejauh ini, UOB membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dalam tiga skenario. Jika terjadi resesi, perekonomian 2020 akan tumbuh negatif 1,1 persen. Namun, jika protokol kesehatan diterapkan cukup ketat dan jumlah kasus turun, kontraksi hanya 0,3 persen.
Kontraksi ekonomi akan lebih dalam jika pemerintah terpaksa menerapkan kembali PSBB karena tren kasus baru terus meningkat. Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan diproyeksikan negatif 2,5 persen.
Semua skenario tersebut menunjukkan, aspek pengendalian virus korona tipe baru dan penerapan protokol kesehatan berperan sangat penting.
Data di laman Covid19.go.id menunjukkan 172.053 kasus terkonfirmasi Covid-19 per 30 Agustus 2020. Jumlah kasus terkonfirmasi meningkat dari hari ke hari.
Chief Economist and Investment Strategist PT Manulife Asset Management Indonesia Katarina Setiawan menyebutkan, kontraksi pertumbuhan ekonomi disebabkan penurunan konsumsi rumah tangga yang signifikan. Sumber pertumbuhan domestik mesti ditumbuhkan lagi untuk mencegah kondisi perekonomian memburuk.
Namun, konsumsi pada masa pandemi Covid-19 sulit didorong dengan mengandalkan cara-cara konvensional.
Mengutip data Newzoo Global Mobile Market Report 2019, ada 84 juta pengguna telepon seluler pintar di Indonesia. Jumlah penggunanya meningkat seiring pertumbuhan kelas menengah.
Rata-rata pertumbuhan kelas menengah di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sebesar 10 persen atau sekitar 75 juta orang. Pertumbuhan kelas menengah dan teknologi digital akan mendorong konsumsi rumah tangga.
”Ukuran pasar internet Indonesia diperkirakan mencapai 130 miliar dollar AS pada 2025. Perkembangan teknologi digital mendorong konsumsi penduduk di masa depan,” katanya.
Preferensi masyarakat pada masa pandemi Covid-19 beralih dari pembelian di toko fisik atau luar jaringan ke dalam jaringan. Untuk mendorong konsumsi, pemerintah dapat bekerja sama dengan platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang, misalnya dengan memberi diskon belanja. Pendekatan berbasis digital dinilai efektif mendorong konsumsi yang lesu.
Baca juga : Pemesanan Bahan Pangan lewat Daring Melonjak
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Fernando Repi mengatakan, perubahan preferensi belanja masyarakat ditangkap pelaku ritel.
”Belanja modal difokuskan untuk digitalisasi, pengadaan teknologi informasi, dan jasa terkait. Jika kesulitan modal, pelaku ritel dapat berkolaborasi, misalnya dengan platform e-dagang dan menyediakan layanan berbagi kendaraan. Alternatif lain, konsumen memesan barang ke (toko) ritel lewat aplikasi pengiriman pesan dan media sosial,” katanya.
Preferensi masyarakat pada masa pandemi Covid-19 beralih dari pembelian di toko fisik atau luar jaringan ke dalam jaringan.
Fernando menyebutkan, belanja di platform daring tumbuh 8-10 persen. Namun, kontribusinya pada penjualan total, termasuk toko fisik, belum sampai 15-20 persen.
Menurut dia, keseimbangan antara kanal daring dan toko fisik akan tercapai. Sebab, konsumen semakin terbiasa memilih pembelian secara luring atau daring untuk barang-barang tertentu.
Riset PwC’s Global Consumer Insights 2020 dengan topik ”Before and After Covid-19 Outbreak” yang dipaparkan pada Agustus 2020 menyebutkan, 69 persen konsumen lebih banyak membeli kebutuhan sehari-hari secara daring dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Jika kebijakan pembatasan jarak fisik tak lagi diterapkan, 57 persen responden mengatakan akan tetap berbelanja secara daring.
Proyeksi
Proyeksi pemerintah, perekonomian Indonesia pada 2020 tumbuh pada kisaran minus 1,1 persen hingga 0,2 persen. Sejumlah lembaga dunia juga memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi pada tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berulang kali menekankan, konsumsi dan investasi merupakan kunci utama untuk membalik pertumbuhan ekonomi agar kembali positif. Jika pertumbuhan konsumsi dan investasi masih negatif, kemungkinan pertumbuhan ekonomi keluar dari zona negatif, atau paling tidak menjadi 0 persen, sangat sulit.
”Kunci utamanya, konsumsi dan investasi. Jika masih negatif, meskipun pemerintah sudah maksimal, (pertumbuhan ekonomi) akan sulit masuk ke zona netral,” kata Sri Mulyani.
Baca juga : Memulihkan Konsumsi dan Investasi
Pada triwulan II-2020, investasi tumbuh minus 8,61 persen. Padahal, porsinya pada PDB triwulan II-2020 sebesar 30,61 persen. Pada triwulan I-2020, investasi masih tumbuh 1,7 persen.
Upaya mendorong konsumsi rumah tangga tak cukup hanya mengandalkan penyaluran bantuan sosial. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan tetap negatif jika kelompok menengah-atas belum memulihkan belanja mereka. Pemulihan belanja sangat dipengaruhi keyakinan masyarakat terhadap penanganan kasus Covid-19.
Mengutip laporan Bank Dunia, ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class”, yang dirilis Januari 2020, ada 52 juta orang kelas menengah di Indonesia. Pengeluaran kelompok ini berkisar Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per bulan per orang. Permintaan mereka menggerakkan perekonomian.
Sebagaimana dikemukakan Sri Mulyani, pemulihan ekonomi belum solid dan masih sangat rapuh. Indikator pemulihannya belum stabil, terlihat dari realisasi penerimaan pajak Rp 601,9 triliun per Juli 2020. Pencapaian ini tumbuh negatif 14,7 persen secara tahunan.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan tetap negatif jika kelompok menengah-atas belum memulihkan belanja mereka.
Di sisi lain, realisasi belanja program pemulihan ekonomi nasional masih sangat lambat. Per 19 Agustus 2020, realisasinya Rp 174,79 triliun atau 25,1 persen dari pagu Rp 695,2 triliun. Dari pagu tersebut, sebesar Rp 189,23 triliun belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, kemungkinan anggaran pemulihan ekonomi nasional tidak terserap seluruhnya, salah satunya di bidang kesehatan. Anggaran yang berpotensi tidak terserap akan direalokasikan ke program baru dalam pos yang sama, disertai catatan, program baru bersifat lebih operasional untuk mempercepat realisasi anggaran.
Sebenarnya persoalan yang berkaitan dengan krisis kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 ada di depan mata. Solusinya juga sudah bisa dibayangkan. Namun, realisasinya masih samar-samar.
Jangan sampai kasus Covid-19 sulit terkendali sehingga kondisi ekonomi sulit bangkit kembali. Jangan sampai, sudah jatuh tertimpa tangga.