Indeks harga konsumen turun dua bulan berturut-turut dan mengindikasikan tertekannya daya beli masyarakat. Penanganan pandemi Covid-19 krusial untuk membangkitkan kepercayaan.
Oleh
M Paschalia Judith / Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat deflasi 0,05 persen pada Agustus 2020. Deflasi dipicu oleh turunnya harga sejumlah kelompok pengeluaran, terutama kelompok makanan dan minuman serta transportasi, yang mengindikasikan lesunya permintaan di tengah pandemi Covid-19.
Pada Juli 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat deflasi, yakni 0,1 persen. Dengan demikian, inflasi sepanjang tahun kalender (Januari-Agustus 2020) mencapai 0,93 persen. ”Jika melihat tren di negara lain, ada perlambatan inflasi, bahkan deflasi akibat pandemi Covid-19 yang menghantam sisi permintaan dan penawaran,” kata Kepala BPS Suhariyanto, Selasa (1/9/2020).
Dari strukturnya, kelompok barang dengan harga bergejolak (volatile food) mengalami deflasi bulanan 1,44 persen pada Agustus 2020. Andilnya terhadap deflasi mencapai 0,24 persen. Menurut Suhariyanto, suplai barang cukup, tetapi daya beli masyarakat belum pulih.
Kelompok bahan makanan, minuman, dan tembakau deflasi 0,86 persen pada Agustus 2020. Andil deflasi kelompok ini mencapai 0,22 persen. Sementara kelompok transportasi deflasi 0,14 persen dengan andil 0,02 persen. Beberapa komoditas yang turun harga, antara lain, daging ayam ras, bawang merah, tomat, telur ayam ras, bayam, pisang, dan tarif angkutan udara.
Situasi itu tecermin dari turunnya nilai tukar petani (NTP) peternakan. NTP peternakan merosot 1,31 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 98,64. Artinya, kesejahteraan peternak turun karena indeks harga yang diterima lebih rendah dibandingkan dengan indeks harga yang dibayarkan peternak.
Terkait dengan hal itu, peternak ayam yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) berunjuk rasa, Selasa (1/9). Ketua PPRN Alvino Antonio menilai, peternak mandiri jadi korban liarnya praktik bisnis pelaku peternakan terintegrasi. Berlimpahnya pasokan membuat harga anjlok dan menekan peternak kecil.
Sementara itu, pemerintah menurunkan tarif listrik tegangan rendah bagi tujuh golongan pelanggan non-subsidi, termasuk pelanggan rumah tangga. Penurunan tarif berlaku periode Oktober-Desember 2020. Faktor harga batubara, inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, serta inflasi jadi dasar penurunan tarif.
Tarif golongan pelanggan rumah tangga yang sebelumnya Rp 1.467,7 per kWh turun jadi Rp 1.444,7 per kWh. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi, saat dihubungi, Selasa, merinci, pelanggan yang mendapat penurunan tarif adalah rumah tangga dengan daya 1.300 volt ampere (VA), 2.200 VA, 3.500-5.5000 VA, dan 6.600 VA ke atas.
Penurunan tarif juga berlaku bagi pelanggan golongan bisnis dengan daya 6.600 VA sampai 220 kilo VA (kVA), golongan pemerintah 6.600 VA sampai 220 kVA, serta penerangan jalan umum. ”Penurunan tarif listrik pelanggan nonsubsidi tegangan rendah ini diharapkan membantu menjaga daya beli serta mendukung stabilitas ekonomi,” kata Agung.
Dalam keterangan pers, Executive Vice President Corporate Communication PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Agung Murdifi menyatakan, PLN akan menjalankan keputusan pemerintah itu. Penurunan tarif ini tidak menyertakan syarat apa pun.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan, optimisme pelaku usaha terkait dengan pemulihan ekonomi dipengaruhi upaya pemerintah menangani Covid-19. Jumlah kasus baru mesti ditekan untuk menciptakan kepercayaan masyarakat yang akan mendorong konsumsi.
Ketika penanganan aspek kesehatan belum optimal, masyarakat kelas menengah yang menopang konsumsi nasional cenderung memilih menabung ketimbang membelanjakan uangnya.