Produksi Migas Pertamina Capai 98 Persen dari Target
Pandemi Covid-19 memukul industri hulu migas global, termasuk Pertamina. Namun, target produksi tetap harus dicapai untuk ketahanan energi dalam negeri, termasuk mempertahankan tenaga kerja perusahaan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi minyak dan gas bumi PT Pertamina (Persero), baik dari wilayah kerja dalam negeri maupun luar negeri, hingga Juli 2020 mencapai 98 persen dari target atau sebanyak 875.000 barel setara minyak per hari. Rinciannya adalah produksi minyak 410.000 barel per hari dan produksi gas bumi 2.692 juta standar kaki kubik per hari. Operasi hulu Pertamina menghadapi tantangan berat di masa pandemi Covid-19 ini.
”Hingga Juli 2020, dalam kondisi yang mengharuskan optimalisasi biaya dan efisiensi, secara umum kinerja hulu Pertamina tetap berjalan baik dengan menyelesaikan pengeboran eksplorasi delapan sumur, pengeboran eksploitasi sebanyak 182 sumur, dan pekerjaan workover 362 sumur. Jadi, kami terus berupaya maksimal mencapai target produksi migas,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, dalam siaran pers, Selasa (1/9/2020).
Fajriyah mengakui bahwa masa pandemi Covid-19 adalah masa terberat yang dihadapi Pertamina. Selain harga minyak mentah dunia yang merosot tajam, khususnya pada periode April 2020, permintaan terhadap bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri pun menurun signifikan. Hal itu dipicu oleh penerapan kebijakan pembatasan pergerakan manusia, barang, dan jasa di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Pertamina juga berkomitmen menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan ataupun tenaga kerja subkontraktor. Secara keseluruhan, ada 1,2 juta tenaga kerja yang terlibat, baik langsung maupun tak langsung, di tubuh organisasi Pertamina.
Pertamina berkomitmen menghindari pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan ataupun tenaga kerja subkontraktor. Secara keseluruhan, ada 1,2 juta tenaga kerja yang terlibat, baik langsung maupun tak langsung, di tubuh organisasi Pertamina.
”Kami juga berkomitmen menuntaskan proyek infrastruktur, seperti peningkatan kapasitas kilang terhadap empat kilang Pertamina, proyek lapangan gas Jambaran Tiung Biru, dan proyek pembangkit listrik tenaga gas Jawa-1,” ucap Fajriyah.
Industri hulu migas di Indonesia masih berperan vital dalam konteks ketahanan energi. Kendati persentase migas dalam bauran energi nasional dikurangi, volumenya semakin meningkat. Pada 2019, konsumi minyak di Indonesia mencapai 525,5 juta barel dan akan naik menjadi 710,9 juta barel di 2025. Padahal, persentase minyak dalam bauran energi nasional pada 2019 sebesar 33,5 persen dan ditargetkan turun jadi 25 persen pada 2025.
”Konsumsi minyak terus naik, sementara kemampuan produksi di dalam negeri terus turun. Kita tak boleh berleha-leha meski kaya akan sumber daya energi terbarukan. Sebab, pada masa mendatang, kebutuhan minyak kita terus meninggi,” ujar ekonom senior, Faisal Basri, dalam webinar bertajuk ”Migas: Panasea Ketahanan Energi Nasional”, Sabtu (29/8/2020).
Mengenai produksi minyak yang terus turun dalam beberapa tahun terakhir, menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial, pemerintah tidak tinggal diam.
Eksplorasi terus dilakukan dan kontraktor migas saat ini diwajibkan menginvestasikan sebagian dananya untuk eksplorasi. Apalagi, masih ada 78 cekungan hidrokarbon yang sama sekali belum diteliti potensi kandungan migasnya di Indonesia.
”Eksplorasi bukan perkara mudah meski gampang sekali mengucapkannya. Hasil eksplorasi bisa gas, minyak, atau bahkan kering (tidak mengandung apa pun). Temuannya juga bisa besar atau kecil. Dalam 10 tahun terakhir, temuan di Indonesia memang kecil atau di bawah 100 juta barel. Padahal, kita membutuhkan temuan yang hitungannya itu miliaran barel,” papar Ego.
Dua faktor lainnya, selain faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, adalah kejatuhan harga minyak mentah dunia dan permintaan BBM yang merosot tajam selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia.
Sebelumnya, Pertamina mencatatkan kerugian sebesar 767,9 juta dollar AS atau setara Rp 11,2 triliun sepanjang semester I-2020. Penyebab utama kerugian tersebut adalah merosotnya harga minyak dunia dan permintaan bahan bakar minyak di dalam negeri yang anjlok selama masa pandemi Covid-19. Di satu sisi, pemerintah masih berutang sekitar Rp 100 triliun kepada Pertamina.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, kerugian yang dialami Pertamina disebabkan tiga faktor yang ia sebut sebagai triple shock. Dua faktor lainnya, selain faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, adalah kejatuhan harga minyak mentah dunia dan permintaan BBM yang merosot tajam selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia.
”Ada penurunan sebesar 26 persen pada periode Januari-Juli 2020 dibandingkan dengan periode serupa tahun lalu. Selain itu, harga minyak Indonesia (ICP) pada April 2020 sebesar 21 dollar AS per barel memukul keuangan perusahaan yang tetap mempertahankan produksi migas kendati penerimaan di hulu tertekan,” tutur Nicke.