Langkah pemerintah dalam menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait reformasi sistem keuangan memicu kekhawatiran. Ada hal lain yang lebih mendesak saat ini, yakni menjaga sektor riil.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah ekonom mempertanyakan efektivitas dari rencana pemerintah untuk mereformasi undang-undang sistem keuangan dalam memacu sisi permintaan domestik sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional. Reformasi sistem keuangan juga memicu kekhawatiran akan potensi krisis dan keberlangsungan independensi bank sentral.
Pemerintah tengah mengkaji kembali berbagai undang-undang dan perangkat hukum terkait stabilitas sistem keuangan (SSK) dalam mengantisipasi krisis. Sejumlah undang-undang (UU) yang saat ini pemerintah kaji adalah UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), hingga UU Keuangan Negara.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai, penanganan krisis tak harus dengan mengubah aturan. Dia mencontohkan, penyaluran kredit lesu karena permintaan kredit dari sektor riil memang lesu sehingga dari sisi permintaan memang tidak ada.
Menururut dia, permasalahan ekonomi saat ini terjadi lantaran sektor rill tidak berjalan secara normal. Kondisi ini masih berlangsung meskipun pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah stimulus, seperti pemberian suku bunga kredit 3 persen hingga menjamin kredit untuk modal usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM hingga 80 persen.
”Jadi percuma saja kalau sektor keuangannya berubah, tetapi sektor riilnya tetap tidak bergeliat. Perbankan pasti tetap akan selektif dalam penyaluran kredit,” kata Aviliani saat dihubungi, Senin (31/8/2020).
Jadi percuma saja kalau sektor keuangannya berubah, tetapi sektor riilnya tetap tidak bergeliat. Perbankan pasti tetap akan selektif dalam penyaluran kredit.(Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Aviliani)
Faktanya, sejumlah stimulus yang digelontorkan pemerintah belum mampu meningkatkan pertumbuhan kredit lantaran tidak ada peningkatan dari sisi permintaan. Aviliani mengatakan, per Agustus baru 25 persen yang terserap dari Rp 695,2 triliun dana pemulihan ekonomi nasional yang digulirkan pemerintah.
Hal yang seharusnya menjadi fokus pemerintah adalah menggenjot sisi permintaan dengan menambah dana bantuan langsung tunai dan bantuan sosial untuk masyarakat menengah ke bawah. ”Menurut saya kali ini perhatiannya adalah menaikkan permintaan dari kelas bawah dan sebagian kelas menengah,” kata Aviliani.
Sementara itu, ekonom Indef lainnya, Bhima Yudhistira, mengkhawatirkan perppu tersebut dapat mengancam independensi BI karena isu yang bergulir saat ini adalah upaya menyatukan komando atas tiga lembaga keuangan penting tersebut.
Independensi BI diatur dalam Undang-Undang Nomor 23/1999 tentang BI. Pasal 4 Ayat 2 UU tersebut menegaskan, BI merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lain. Tugas BI dalam UU ini mencakup pelaksanaan kebijakan moneter termasuk mengatur dan menjaga sistem pembayaran.
Sebagai lembaga independen, lanjut Bhima, UU yang ada saat ini menekankan bahwa pihak lain termasuk pemerintah dilarang untuk mencampuri segala urusan yang menjadi tugas bank sentral. BI juga punya kewajiban menolak setiap campur pihak lain dalam pelaksanaan kebijakan moneter maupun pengelolaan sistem pembayaran.
”Jadi, perppu yang baru harus dirancang dengan hati-hati kalau tidak mau berpengaruh pada kepercayaan dari investor di pasar keuangan. Jika BI diposisikan sebagai subordinat dari pemerintahan, ini malah menunjukkan kemunduran reformasi kelembagaan bank sentral,” ujar Bhima.
Sektor riil
Sebelumnya, dalam diskusi publik secara virtual, Minggu (30/8/2020) malam, Ekonom Centre of Reform on Economics (Core) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menilai, di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang, lebih baik pemerintah fokus kepada sektor riil ketimbang melakukan reformasi sektor keuangan.
Menurut Akhmad, resesi ekonomi yang dihadapi Indonesia sekarang berbeda dengan resesi ekonomi yang pernah terjadi pada 1997-1998. Rencana pemerintah menerbitkan perppu untuk merombak struktur kelembagaan KSSK dinilai tidak punya urgensi dilakukan dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
”Tidak ada jaminan ketika kita melakukan perubahan kelembagaan BI, OJK, atau LPS dengan menggunakan perppu akan membuat situasi jadi lebih bagus. Jangan sampai kita terlena seolah-olah kita pindah ke isu lain yang justru sebenarnya bukan jawaban atas masalah yang kita hadapi,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Badan Legislatif DPR yang juga anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno, mengatakan, hingga kini ada kesan aspek mikroprudensial dan makroprudensial tidak selaras. Ia mencontohkan, meski BI sudah menurunkan bunga acuan hingga 200 basis poin, penurunan suku bunga kredit masih lambat.
”Alhasil, penyalur kredit cenderung lambat karena sektor riil enggan menanggung beban suku bunga kredit bank yang tinggi. Hal ini yang membuat kita perlu untuk merevisi UU BI,” ujar Hendrawan.
Keinginan merevisi UU BI, lanjutnya, juga agar bisa memaksimalkan peran BI untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendorong penciptaan lapangan kerja. Untuk mendukung peran tersebut, wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan diperkuat seperti dewan moneter di masa lalu.