Pandemi Covid-19 menuntut pelaku usaha untuk berinovasi dan beradaptasi.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Di area parkir pusat perbelanjaan di Kota Tangerang Selatan, Banten, tidak ada lagi orang yang melayani kita saat hendak membayar tarif parkir. Semua menggunakan teknologi tanpa sentuhan. Awal Maret lalu mereka masih menyediakan petugas di tiga pintu keluar. Jika ada tiga sif, perlu sembilan orang untuk melayani parkir. Semua berubah permanen. Layanan parkir tidak lagi membutuhkan tenaga manusia.
Seorang pelaku usaha kecil menengah (UKM) mempunyai usaha yang melayani katering kelas menengah dan atas. Saat pandemi Covid-19, permintaan kelas atas masih ada, tetapi permintaan kelas menengah dengan pesanan 30-40 porsi sehari sudah hilang. Pasar ini diambil orang lain yang mendadak jadi pengusaha UKM. Mereka bisa memasuki pasar itu karena memiliki kedekatan dengan calon pemesan dan secara tak sengaja menemukan keterampilan baru untuk membuat makanan dengan porsi terbatas pada masa pandemi.
Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali menceritakan, seorang pengusaha pada kondisi normal memiliki hampir 100 karyawan. Namun, kini, dengan 30 pekerja, pengusaha itu tetap bisa menjalankan bisnis. Pandemi telah mengubah pekerjaan menjadi bisa ditangani lebih praktis dan efisien.
Di industri yang lebih besar seperti ritel, kajian dampak permanen pandemi terhadap bisnis bermunculan. Salah satunya, tren hidup simpel dengan tidak banyak mengeluarkan uang di tengah pandemi. Gaya hidup ini diperkirakan bakal menjadi kebiasaan permanen. Jumlahnya belum diketahui, tetapi hampir semua orang akan berhemat, kecuali orang superkaya. Pasar ritel terdampak.
Apa pun usaha kita, kita perlu melihat secara detail kanal-kanal pendapatan kita yang sudah mulai terdampak atau mungkin saat ini terlihat tidak terdampak, tetapi lambat laun akan terdampak. Penyebabnya, antara lain, muncul pesaing baru yang lebih efisien, pemain baru muncul di salah satu lini karena mereka lebih mudah diakses, dan alat baru yang bisa menggantikan sejumlah pekerjaan karena mengurangi risiko kontak dengan manusia. Pandemi telah mengajarkan beberapa orang untuk bekerja lebih efisien, praktis, berinovasi dengan alat baru, dan mengurangi jalur birokrasi. Jaga jarak dan protokol kesehatan menjadi pijakan konsumen dan pebisnis sehingga mereka mengurangi mobilitas dan kontak fisik. Oleh karena itu, mereka membuat inovasi.
Pelajaran dari setiap krisis adalah manusia selalu berinovasi. Bagi beberapa orang, krisis bukan sekadar kisah sedih, tetapi kisah bertahan, berinovasi, dan menjadi pemenang. Untuk menghadapi dampak permanen, semua pebisnis, baik UKM maupun usaha besar, harus mengidentifikasi dan berubah. Cara umum yang dipakai di bisnis ritel, keuangan, dan jasa harus masuk ke dunia digital.
Mereka harus mengubah cara memasuki pasar. Kecenderungan gotong royong, saling membantu sesama, atau solider di komunitas atau ”kerumunan” dalam skala kecil dan besar perlu dilihat sebagai peluang bagi pebisnis untuk masuk dan menawarkan produk serta layanan.
Komunikasi bisnis seperti rapat yang tidak efisien akan berkurang. Rapat jarak jauh menggunakan teknologi video akan menggantikan rapat-rapat yang tidak penting. Dampaknya, pesanan makanan dan minuman untuk rapat ke UKM akan berkurang. Padahal, sebagian UKM di Jakarta dan sekitarnya hidup karena pesanan makanan dan minuman untuk rapat dinas.
Tekanan terhadap UKM makanan-minuman sangat besar karena permintaan turun dan ada kecenderungan masyarakat memasak sendiri makanannya. UKM bidang makanan-minuman harus berubah untuk bertahan.
Sebuah rumah makan di Tangerang Selatan mungkin bisa menjadi contoh perubahan menghadapi fenomena ini. Mereka tidak lagi menjual menu matang, tetapi menjual bahan makanan mentah dalam kemasan. Pembeli diberi kesempatan membuat sendiri makanan itu sekaligus memberi pengalaman memasak di rumah. Semua dampak itu dipastikan akan menjadi permanen.
Pengusaha yang bisa mengefisienkan proses bisnis akan melanjutkan proses baru tersebut setelah pandemi. Mereka tidak akan kembali lagi ke cara-cara lama yang berbiaya mahal. Pengusaha baru yang muncul karena pandemi dan langsung mendapat pasar akan melanjutkan bisnis itu.
Tak ada pilihan lain, pengusaha lama yang terkikis pangsa pasarnya harus berubah dan membuat kanal pendapatan baru. Pasar yang berubah juga mengharuskan mereka mengubah layanan bagi konsumen agar aman. Ada yang menyebut, pebisnis perlu reinkarnasi, yaitu lahir kembali dengan mengubah wujud usaha.