Di tengah iklim investasi hulu migas yang lesu, keluarnya investor dari Indonesia adalah pukulan keras. Perlu instropeksi apakah memang ada yang perlu dibenahi agar investor nyaman dan betah berinvestasi di Indonesia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Kabar mengejutkan datang dari Blok Masela yang ada di perairan Laut Arafuru, Maluku. Shell, salah satu investor blok kaya gas tersebut, berniat hengkang dan mendivestasikan sahamnya. Divestasi saham adalah hal biasa, tetapi ini sekaligus preseden buruk atas karut-marutnya tata kelola hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.
Shell adalah salah satu pemegang saham dalam kemitraan pengelolaan Blok Masela. Perusahaan asal Belanda tersebut menguasai saham 35 persen, sedangkan Inpex Corporation dari Jepang memegang 65 persen saham dan bertindak selaku operator. Mendapat kontrak pada 1998, Inpex kemudian berhasil menemukan cadangan gas Blok Masela dua tahun berikutnya. Inpex lantas mencari mitra dengan menjual sebagian sahamnya di Blok Masela kepada Shell di 2011.
Kabar mengenai rencana mundurnya Shell dari Blok Masela disampaikan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto dalam rapat dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI beberapa waktu lalu. Pejabat berwenang Inpex yang turut hadir dalam rapat tersebut membenarkan. Namun, sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Shell tentang rencana divestasi saham mereka di Blok Masela.
Dalam rapat tersebut terungkap bahwa alasan Shell mendivestasikan sahamnya di Blok Masela karena dipandang kurang prospektif terhadap portofolio global mereka. Ada dugaan bahwa berinvestasi di negara lain lebih menarik dan menguntungkan. Padahal, blok tersebut dijadwalkan mulai berproduksi pada triwulan I-2027.
Pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo secara langsung mengumumkan bahwa gas Blok Masela harus diolah lewat fasilitas di darat. Rencana pengembangan lapangan pun kembali harus diubah.
Perjalanan Blok Masela penuh liku. Kendati cadangan gasnya yang diperkirakan 18,5 triliun kaki kubik ditemukan pada 2000, birokrasi yang rumit membuat gas di blok tersebut tak kunjung dapat diproduksi dan dimanfaatkan. Awal mulanya adalah polemik mengenai apakah gas dari blok tersebut harus diolah di laut lepas atau di daratan.
Perencanaan awalnya adalah gas tersebut diolah lewat fasilitas terapung di area di mana cadangan gas berada. Kemudian, telontar usulan agar gas diolah lewat fasilitas di darat dengan harapan lebih banyak memberikan dampak ganda bagi perekonomian Indonesia. Pada 2015, pemerintah memutuskan menyewa konsultan untuk memberi masukan apakah gas lebih efisien diolah di darat atau di laut lepas.
Konsultan memberi rekomendasi bahwa gas sebaiknya diolah di laut lepas. Investasi pengelolaan gas di laut lepas lebih murah dan efisien. Namun, pemerintah bersikap lain. Pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo secara langsung mengumumkan bahwa gas Blok Masela harus diolah lewat fasilitas di darat. Rencana pengembangan lapangan pun kembali harus diubah.
Setelah berlarut-larut, disetujui bahwa produksi gas Blok Masela adalah berupa LNG sebanyak 9,5 juta metrik ton per tahun dan gas pipa sebanyak 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Inpex juga telah menandatangani nota kesepahaman jual beli gas dengan dua perusahaan BUMN, yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero) pada Februari 2020. Namun, ini masih sebatas nota kesepahaman, bukan kontrak jual beli.
Kembali soal rencana mundurnya Shell. Keputusan tersebut disikapi beragam oleh anggota DPR. Sebagian menyesalkan karena di tengah situasi sulit, di mana Indonesia sedang menjaring sebanyak-banyaknya investor, justru ada yang memilih pergi. Sebagian justru mengkritik keputusan Shell tersebut ketika sudah diberi berbagai kemudahan malah mendivestasikan sahamnya.
Dalam konteks lebih luas, pemerintah berubah-ubah dalam menentukan skema bagi hasil hulu migas.
Ada pula yang menyampaikan bahwa keputusan Shell itu harus menjadi bahan instropeksi pemerintah. Pemerintah disebut kerap bersikap tak jelas. Setelah menyetujui gas diolah di laut lepas, tetapi kemudian diubah kembali agar diolah di darat. Itu baru urusan di Blok Masela.
Dalam konteks lebih luas, pemerintah berubah-ubah dalam menentukan skema bagi hasil hulu migas. Setelah sekian lama menerapkan bagi hasil dengan biaya operasi yang dipulihkan (cost recovery), pada 2017 pemerintah memberlakukan skema bagi hasil berdasar produksi kotor (gross split) untuk kontrak baru hasil terminasi. Kebijakan itu hanya berumur 3 tahun. Pemerintah memutuskan untuk membebaskan kontraktor memilih skema bagi hasil cost recovery atau gross split mulai tahun ini.
Bahkan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pun sedang dalam proses revisi. Status SKK Migas dipersoalkan. Sebab, hubungan bisnis hulu migas di Indonesia saat ini adalah pemerintah (SKK Migas), dengan perusahaan (kontraktor migas). Ada keinginan agar kontrak hulu migas diterapkan perusahaan (BUMN khusus) dengan perusahaan agar setara.
Dengan berbagai perubahan kebijakan tersebut di sektor hulu migas, sampai-sampai salah satu pemerhati hulu migas di Indonesia berkomentar bahwa hanya satu yang pasti pada iklim investasi hulu migas di Indonesia, yaitu perubahan itu sendiri.