Pandemi menyebabkan pembangunan smelter Freeport berjalan lambat. Tenaga kerja kontraktor dari sejumlah negara belum bisa ke Indonesia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Freeport Indonesia mengajukan permohonan pelonggaran waktu pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur, dari kesepakatan awal selesai pada 2023 menjadi 2024. Pandemi Covid-19 menjadi alasannya. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat RI menolak permohonan itu.
Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi mengatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC) belum bisa segera dituntaskan. Tenaga kerja dari pihak kontraktor dari sejumlah negara belum bisa datang ke Indonesia lantaran pandemi ini. Pembatasan pergerakan orang tersebut menyebabkan target pengerjaan smelter kurang optimal.
”Apabila dipaksakan selesai di 2023, vendor menyatakan tidak sanggup sehingga perlu revisi jadwal terbaru. Jadi, apabila memungkinkan, kami memohon diberikan kelonggaran penyelesaian smelter hingga 2024,” kata Jenpino dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Kamis (27/8/2020), di Jakarta.
Berdasar paparan dalam rapat tersebut, realisasi pembangunan smelter hingga Juli 2020 mencapai 5,86 persen atau masih di bawah target yang sebesar 10,5 persen. Adapun serapan anggaran sejauh ini mencapai 159,9 juta dollar AS. Total investasi untuk membangun smelter tembaga dan precious metal refinery di Gresik mencapai 3 miliar dollar AS.
Realisasi pembangunan smelter hingga Juli 2020 mencapai 5,86 persen atau masih di bawah target yang sebesar 10,5 persen. Adapun serapan anggaran sejauh ini mencapai 159,9 juta dollar AS.
Usulan Freeport mendapat penolakan dari sejumlah anggota Komisi VII DPR. Salah satunya adalah Andi Yuliani Paris dari Partai Amanat Nasional. Menurut dia, pembangunan smelter di Gresik tetap harus tuntas tepat waktu meski ada pandemi Covid-19. Sebab, rencana smelter tersebut sudah disusun dan disiapkan sejak bertahun-tahun lalu.
Sementara itu, anggota DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, berpendapat, membangun smelter tak memberi untung besar bagi perusahaan tambang. Namun, ketentuan kewajiban mengolah dan memurnikan mineral tambang di dalam negeri diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, Freeport tetap wajib melanjutkan pembangunan smelter tersebut.
”Kami paham bahwa dengan mengekspor konsentrat ke luar negeri untuk diolah di smelter lebih menguntungkan ketimbang membangun smelter di sini. Akan tetapi, ini amanat undang-undang. Kalau Freeport tidak melaksanakan amanat undang-undang, itu artinya mereka tidak pantas mendapat perpanjangan kontrak,” tutur Kardaya.
Sebenarnya, Freeport sudah memiliki smelter tembaga di Gresik bernama PT Smelting. PT Smelting didirikan pada 1996 dengan biaya mencapai 750 juta dollar AS. Selain PT Freeport Indonesia yang memiliki saham 25 persen, PT Smelting dimiliki Mitsubishi Materials Corporation 60,5 persen, Mitsubishi Corporation Unimetal Ltd 9,5 persen, dan Nippon Mining and Metals Co Ltd 5 persen.
Ini amanat undang-undang. Kalau Freeport tidak melaksanakan amanat undang-undang, itu artinya mereka tidak pantas mendapat perpanjangan kontrak.
Smelter baru perlu dibangun lantaran masih ada sisa konsentrat tembaga yang belum bisa dimurnikan di dalam negeri. PT Smelting berkapasitas 1 juta ton per tahun dan hanya mengolah 58 persen produksi konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia yang dihasilkan dari wilayah operasi mereka di Timika, Papua. Sisanya, sebesar 42 persen, diekspor ke sejumlah negara, seperti India, China, Jepang, dan Spanyol.
Dalam dokumen Freeport, setidaknya diperlukan lahan seluas 35 hektar untuk membangun smelter yang baru tersebut. Selain itu, diperlukan pula pelabuhan dengan kapasitas minimal untuk kapal berbobot mati 35.000 ton. Hal lain yang diperlukan adalah kecukupan pasokan listrik, gas alam, dan infrastruktur jalan.
Smelter juga perlu dibangun di lokasi yang berdekatan dengan pabrik semen, pupuk, dan petrokimia. Pasalnya, smelter tembaga menghasilkan beberapa produk sampingan, seperti asam sulfat, gipsum, copper slag, dan anode slime. Asam sulfat dibutuhkan untuk pabrik pupuk, gipsum menjadi bahan baku semen, dan anode slime untuk bahan pemrosesan emas dan perak.
DPR akan kembali meminta keterangan Freeport pada pekan depan dan menginginkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Clayton Allen Wenas hadir atau tidak diwakilkan. DPR juga berencana meminta keterangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif terkait nasib perpanjangan kontrak perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.