Kelola Ekspektasi Masyarakat untuk Tumbuhkan Konsumsi
Ekspektasi masyarakat mesti dikelola sebaik mungkin agar konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi. Selama konsumsi rumah tangga melemah, laju pemulihan ekonomi dipastikan bakal lebih lambat dari prediksi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Petugas kebersihan mengenakan pelindung wajah saat bekerja di pusat perbelanjaan telepon seluler ITC Roxy, Jakarta, yang mulai ramai pengunjung, Sabtu (11/7/2020). Meski pemerintah sudah mengizinkan pusat perbelanjaan kembali beroperasi dan memperbolehkan masyarakat beraktivitas di luar pada masa tatanan normal baru ini, upaya itu belum serta-merta memulihkan kondisi ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Ekspektasi masyarakat mesti dikelola sebaik mungkin agar konsumsi tumbuh lebih tinggi. Selama konsumsi rumah tangga melemah, laju pemulihan ekonomi bakal lambat.
Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga minus 5,51 persen, jauh di bawah rata-rata pertumbuhannya yang mencapai 5 persen sebelum pandemi Covid-19. Oleh karena menyokong 60 persen perekonomian nasional, anjloknya konsumsi menekan pertumbuhan ekonomi ke zona negatif 5,32 persen. Oleh karena itu, upaya mengelola ekspektasi dinilai penting demi mendorong konsumsi.
Kajian Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI dengan sampel 2.258 rumah tangga menunjukkan 87,3 persen rumah tangga usaha dan 64,8 persen rumah tangga pekerja mengalami kesulitan keuangan selama pandemi. Hampir 50 persen rumah tangga terpaksa menggunakan tabungan serta menjual atau menggadaikan asetnya untuk bertahan hidup.
Menurut Kepala P2E LIPI Agus Eko Nugroho, tekanan terhadap konsumsi cukup signifikan sejalan dengan penurunan pendapatan. Sebagian kelompok masyarakat miskin sudah terlindungi program bantuan sosial pemerintah. Namun, banyak kelompok rumah tangga kelas menengah yang terabaikan.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Kontribusi pengeluaran per kelompok rumah tangga. Sumber: Badan Pusat Statistik
Rumah tangga kelompok kelas menengah umumnya punya tabungan dan aset. Untuk bertahan selama pandemi, mereka menggunakan tabungan serta menjual atau menggadaikan aset. Sebagian mereka meminjam uang ke kerabat atau perbankan. Kelompok ini dapat bertahan, tetapi temporer.
”Fakta ini perlu jadi perhatian. Pemulihan ekonomi tidak akan cepat ketika tabungan dan aset terkoreksi signifikan,” ujar Agus dalam webinar bertajuk ”Kebijakan Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan: Strategi Pemulihan Pascapandemi”, Rabu (26/8/2020).
Menurut Agus, pemerintah mesti lebih serius mengelola ekspektasi masyarakat. Tujuannya agar kelompok masyarakat kelas menengah dan atas yang memiliki pendapatan permanen mengembalikan belanjanya ke level normal. Jika ekspektasi tidak dikeloa dengan baik, pertumbuhan ekonomi paruh kedua akan tetap negatif.
Pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia tumbuh negatif 5,32 persen. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan III-2020 berkisar nol sampai negatif 2 persen. Jika triwulan III-2020 tumbuh negatif, Indonesia dipastikan mengalami resesi.
Secara terpisah, Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin mengatakan, aspek kesehatan memang harus ditangani lebih dulu untuk mengatasi ketakutan masyarakat. Oleh karena itu, fokus pemerintah kini menangani Covid-19 seoptimal mungkin agar masyarakat tidak lagi khawatir berbelanja dan beraktivitas di luar rumah.
”Selama rasa aman belum timbul, roda ekonomi belum akan berputar. Stimulus yang diluncurkan pemerintah sifatnya hanya mengganjal,” kata Budi.
Untuk keluar dari krisis ekonomi dan menghindari ancaman resesi, penanganan kesehatan menjadi solusi dengan cara meningkatkan jumlah tes, melakukan penelusuran secara detail, menerapkan protokol kesehatan, serta menemukan cara merawat pasien Covid-19. Penambahan jumlah kasus baru ditekan seminimal mungkin.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menambahkan, ekspektasi masyarakat terkait pemulihan ekonomi mulai muncul. Hasil survei Bank Indonesia tentang indeks keyakinan konsumen, indeks ekspektasi konsumen, dan indeks kondisi ekonomi terpantau membaik. Titik optimistis ada di level 83,78 pada Juli 2020.
Ekonomi digital
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup periode 1978-1993 Emil Salim mengatakan, pandemi Covid-19 mengubah pola konsumsi dan perilaku manusia di hampir semua sektor. Ketergantungan terhadap teknologi informasi semakin nyata yang kini tergolong layanan dasar.
Di sisi lain, Indonesia sedang berupaya menyiapkan diri untuk mencapai cita-cita tahun 2045. Kemampuan sumber daya manusia muda harus ditingkatkan, terutama pada aspek daya pikir, intelektualitas, maupun kemampuannya. Jangan sampai generasi muda Indonesia tidak memiliki akses layanan dasar internet.
”Dalam masa peralihan ini, betul anggaran penting untuk mendorong kegiatan ekonomi, tetapi akses layanan dasar internet, listrik, dan air mesti menjadi bagian dari fokus pengeluaran negara,” ujar Emil.
Peneliti ketimpangan sosial yang pernah menjabat Ekonom Kepala Bank Dunia di Indonesia, Vivi Alatas, menambahkan, pengembangan ekonomi digital berpotensi mengatasi berbagai macam kendala. Teknologi informasi mampu memperluas jangkauan dagang, mengurangi informasi asimetrik, dan memberikan kesempatan belajar bagi semua orang.
Keseriusan pemerintah dalam mengembangkan ekonomi digital di tengah pandemi dinanti. Teknologi digital dapat memperbaiki layanan untuk mengatasi efek guncangan, seperti akses ke instrumen perlindungan sosial, kualitas program bantuan sosial, dan akses finansial. Namun, pengembangan ekonomi digital ini membutuhkan investasi besar.