Dua ABK Indonesia Dipulangkan
Pelanggaran terhadap hak-hak anak buah kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing terus terjadi. Pemerintah didorong untuk mempercepat perbaikan tata kelola, pengawasan hingga penegakan hukumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran terhadap hak-hak anak buah kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing terus terjadi. Pemerintah didorong untuk mempercepat perbaikan tata kelola, pengawasan hingga penegakan hukumnya.
Dua anak buah kapal atau ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal MT Ocean Pride 3, milik perusahaan India, dipulangkan. Selama bekerja di kapal tersebut, hak-hak mereka diabaikan oleh pemilik kapal.
”Dua orang itu, yakni Aguntus Sagala (31) dan Melando Sibuea (26), berhasil turun dari kapal tanker yang beroperasi di laut dekat Afrika Selatan,” kata Ketua Umum Solidaritas Pelaut Indonesia (SPI) Pius Laja Pera, saat dihubungi Kompas, Rabu (26/8/2020).
Pius menjelaskan, kapal MT Ocean Pride 3 dilaporkan dalam kondisi kurang baik sehingga sering terjadi mati mesin. Tidak hanya itu, dua ABK asal Indonesia juga ditunda pembayaran gajinya. Dengan kondisi seperti itu, mereka lantas mengadu kepada SPI.
”Saya kemudian membuat notice kepada direktur perlindungan Kementerian Luar Negeri dan ditanggapi dengan baik dengan membuat surat kepada agen perekrut di Mumbay, India. Mereka sempat tidak mau mengeluarkan uang untuk mengembalikan pekerja kita karena, menurut mereka, kontrak pekerja kita belum selesai,” tutur Pius.
Namun, Pemerintah Indonesia tetap mengusahakan pengembalian dua WNI tersebut. Di Capetown, Afrika Selatan, konsulat jenderal Indonesia di sana juga mengupayakan penjemputan. Hingga akhirnya, setelah negosiasi dengan duta besar India di Indonesia dan Pemerintah India, keduanya mendapat tiket untuk pulang kembali ke Indonesia.
Menurut Pius, sepanjang 2020, SPI turut membantu memulangkan sekitar 30 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal asing.
Sebelum kasus kapal MT Ocean Pride 3, terdapat 13 ABK kapal pesiar Greg Mortimer sempat terkatung-katung di lautan Pasifik dan Atlantik karena 100 awak dan penumpangnya terinfeksi Covid-19. Hingga akhirnya, Juni lalu, mereka dijemput Pemerintah Indonesia di Uruguay atas izin pemerintah setempat.
Saat ini, SPI juga tengah bekerja sama dengan pemerintah untuk mengupayakan pemulangan 56 ABK Indonesia di Taiwan. Otoritas setempat sempat tidak memperbolehkan mereka pulang karena pandemi, walaupun kontrak mereka sudah habis dan penerbangan sudah kembali tersedia.
Untuk mengantisipasi kasus-kasus serupa ke depan, Pius mengusulkan agar Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) diberikan kewenangan yang lebih luas untuk melakukan pengawasan pekerja migran kelautan di luar negeri.
Selain itu, diperlukan pula penataan ulang proses perekrutan hingga pengawasan dan perlindungan pekerja migran di sektor kelautan.
Baca juga: Perlindungan Anak Buah Kapal pada Kapal Ikan Asing Akan Ditingkatkan
Kapal ikan China
Dugaan perbudakan terhadap pelaut Indonesia di kapal ikan China kembali terjadi. Perusahaan yang mengirimkan pelaut itu diduga ilegal.
Direktur Perlindungan WNI pada Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, ada informasi empat pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Liao Yuan Yu 103. Dari pemeriksaan oleh Kedutaaan Besar Republik Indonesia di Beijing, kapal itu terdaftar dimiliki oleh perusahaan di Dalian, Liaoning Kimliner Ocean.
”Mereka mengaku tidak menerima gaji, jam kerja berlebihan, dan makanan tidak memadai,” ujarnya, Rabu (26/8/2020).
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, Indonesia harus segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan pekerja migran di sektor kelautan. RPP itu seharusnya selesai pada September 2019.
Sampai sekarang, para pemangku kepentingan terkait penyusunan RPP itu masih terus berbeda pendapat sehingga RPP tidak bisa disahkan. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI mengamanatkan RPP itu selesai paling lambat dalam dua tahun sejak UU 18/2017 disahkan.
Akibatnya, sampai sekarang Indonesia tidak punya instrumen hukum yang kuat untuk melindungi pelaut di kapal asing. Padahal, pelaut di kapal asing paling rentan menjadi korban perbudakan.
CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, perbaikan tata kelola pekerja migran kelautan menjadi prioritas yang harus dikejar pemerintah karena banyaknya kasus pelanggaran.
”Pekerja migran untuk kapal asing juga kerap menjadi korban ekstrem dari perdagangan orang dan perbudakan modern,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Berdasarkan kajian, IOJI merekomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah antara lain, pembentukan satuan tugas nasional oleh presiden untuk menyelaraskan kewenangan lintas lembaga dan kementerian. Lalu, melakukan audit kepatuhan perusahaan yang mengerahkan agensi pekerja migran untuk merekrut ABK warga negara Indonesia (WNI).
Diperlukan pula kerja sama dengan organisasi kepolisan internasional atau Interpol untuk mempercepat proses hukum pelaku pelanggaran aturan ketenagakerjaan.
SAFE Seas Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat, selama November 2019 sampai Juni 2020, sebanyak 31 ABK menjadi korban di kapal ikan China, dengan rincian 21 ABK berhasil diturunkan, 7 orang meninggal, dan 3 orang hilang. Kasus terjadi antara lain di kapal ikan Lu Huang Yuan Yu 118 dan Long Xin 629.
Menurut IOJI, pemerintah perlu segera meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) C-188 tentang Work in Fishing Convention and Recommendation. ILO C-188 merupakan instrumen internasional yang mengatur bentuk-bentuk perlindungan kepada ABK perikanan dan mekanisme untuk memastikan kapal-kapal ikan mempekerjakan ABK dengan kondisi yang layak.
”Kita juga perlu menguatkan kelembagaan untuk impelementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lalu, optimalkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai lembaga pengaduan dan perlindungan pekerja migran kita,” pungkasnya.