Daya saing industri TPT Indonesia hanya cukup untuk menjaga kinerja ekspor, tetapi belum cukup untuk mendorong peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor membutuhkan penghilangan permasalahan daya saing.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pangsa pasar ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia terus menurun, sementara ketergantungan terhadap impor justru menguat. Kerja sama pemangku kepentingan dan ekosistem mendukung dibutuhkan untuk menyelamatkan industri penghasil devisa dan padat karya tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno, Rabu (26/8/2020), mengatakan, ada tiga pilar untuk berkompetisi di industri tekstil, yakni pembiayaan, energi, dan tenaga kerja. Kebijakan terkait ketiga pilar tersebut dibuat pemerintah dan dijalankan pelaku usaha.
”Kalau dipertandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia semakin hari semakin ketinggalan di ketiga pilar tersebut,” ujarnya dalam seminar daring bertajuk ”Penyelamatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional” di Jakarta.
Menurut Benny, saat ini negara-negara produsen tekstil banyak yang menguber pasar ekspor. Vietnam telah memenangi penggarapan pasar ekspor tekstil. Kini, Kamboja pun turut masuk ke pasar ekspor tekstil dunia.
Cakupannya pun masih luas, baik untuk kebutuhan pakaian maupun nonpakaian. Pada saat pandemi Covid-19, Indonesia juga terlihat gagap menanggapi pembuatan alat pelindung diri karena tidak memiliki bahan baku.
”Sebagian besar bahan baku produk-produk itu masih impor. Kita hanya memotong dan menjahit,” ujarnya.
Sebagian besar bahan baku produk-produk itu masih impor. Kita hanya memotong dan menjahit.
Untuk itu, pemerintah diharapkan terus menopang geliat industri tekstil nasional agar semakin berdaya saing. Salah satunya di sektor pembiayaan, perlu ada kebijakan yang memudahkan pelaku industri tekstil mendapatkan keringanan pinjaman.
Benny mencontohkan, pada 1982-1986, pemerintah sangat tegas mendukung industri tekstil. Industri tekstil yang mengekspor produknya diberikan bunga pinjaman separuh dari bunga pasar. Setelah mampu mengekspor, pemerintah baru memberikan pinjaman dengan bunga normal.
Dalam seminar itu juga terungkap, industri tekstil merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Di sisi lain, daya saing industri tekstil nasional baru mampu menjaga kinerja ekspor, belum untuk meningkatkan ekspor.
Peneliti Indotex, Redma Gita Wirawasta, menuturkan, jumlah tenaga kerja langsung di industri tekstil di Indonesia pada 2019 sebanyak 4,5 juta orang. Namun, lantaran pancemi Covid-19, banyak perusahaan yang merumahkan karyawan.
Sementara nilai ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia terus turun. Pada 2019, nilai ekspor TPT sekitar 12 miliar dollar AS, lebih rendah dari 2018 yang mencapai 13 miliar dollar AS.
”Hal ini sebenarnya kurang berpengaruh terhadap produk domestik burto. Permasalahan terjadi ketika ekspor tidak bisa naik di atas 13 miliar dollar AS, tetapi impor justru naik tinggi,” kata Redma.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada periode 2008-2019 rata-rata pertumbuhan ekspor TPT sebesar 2,5 persen dan impor 8,9 persen. Sementara itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan terjadi tren penurunan pangsa pasar TPT Indonesia di dunia dari 2009 hingga 2018.
Dalam kurun tersebut, pangsa pasar TPT Indonesia di dunia turun dari 1,66 persen menjadi 1,58 persen. Pada periode sama, pangsa pasar TPT Bangladesh naik dari 2,43 persen menjadi 4,72 persen. Pangsa pasar TPT Vietnam pun melonjak dari 1,86 persen menjadi 4,59 persen.
Rasio impor terhadap ekspor industri TPT Indonesia naik dari 40,6 persen menjadi 73,1 persen. Rasio impor terhadap ekspor TPT Bangladesh juga naik, yakni dari 14,2 persen menjadi 28,5 persen. Adapun rasio impor terhadap ekspor TPT Vietnam turun dari 61,9 persen menjadi 42,5 persen.
Dari data tersebut, lanjut Redma, daya saing industri TPT Indonesia hanya cukup untuk menjaga kinerja ekspor, tetapi belum cukup untuk mendorong peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor membutuhkan penghilangan permasalahan daya saing.
Daya saing industri TPT Indonesia hanya cukup untuk menjaga kinerja ekspor, tetapi belum cukup untuk mendorong peningkatan ekspor.
Permasalahan itu, antara lain, adalah biaya energi relatif lebih tinggi dan produktivitas tenaga kerja relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara pesaing. Biaya logistik di pelabuhan relatif lebih mahal. Demikian pula biaya perbankan dan asuransi.
”Sistem PPN (Pajak Pertambahan Nilai) pun berlapis dari hulu ke hilir. Industri benang mau beli serat bayar PPN. Industri kain mau beli benang bayar PPN. Industri pakaian jadi mau beli kain bayar PPN. Ini berlapis dan menjadi biaya,” kata Redma.
Redma menegaskan, ketika daya saing pas-pasan dan ekspor stagnan, relaksasi impor menghancurkan pasar domestik. Penyelamatan industri TPT nasional membutuhkan kebijakan perdagangan yang pro-produksi dalam negeri agar dapat menguasai pasar domestik. Kinerja di pelabuhan perlu dibenahi untuk menghindari praktik impor yang tidak sesuai prosedur.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan, pemerintah terus memperbaiki daya saing industri melalui pembenahan sistem di pelabuhan dan setelan atau keran ekspor-impor. Bea dan Cukai juga terus memperkuat koordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Pada prinsipnya, untuk setelan atau keran ekspor-impor ini harus dibicarakan mengenai jumlah yang masuk dan keluar. Selain itu juga mengenai apa yang boleh dan tidak boleh masuk dan keluar.
”Terkait dengan impor yang tidak memenuhi prosedur, pemerintah akan menindaknya dan terbuka terhadap masukan pelaku industri untuk menutup kebocoran-kebocoran yang terjadi,” ujarnya.
Heru menegaskan, kebersamaan pemerintah dengan pelaku industri tekstil dari hulu hingga hilir mutlak dibutuhkan. Hal ini termasuk dalam mendapatkan informasi intelijen bagus untuk memperketat pengawasan.