Sri Mulyani: Pemulihan Ekonomi Nasional Masih Rapuh dan Belum Solid
Pemulihan ekonomi nasional dinilai belum solid dan masih sangat rapuh. Ancaman resesi semakin sulit dihindari karena pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 diperkirakan negatif 2 persen sampai dengan 0 persen.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi nasional belum solid dan masih sangat rapuh. Kondisi ini terefleksi dalam beberapa indikator per Juli 2020. Ancaman resesi semakin sulit dihindari.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 diproyeksi berkisar minus 2 persen hingga 0 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, pergerakan indikator pemulihan ekonomi belum stabil. Indikasi pemulihan ekonomi sempat terlihat pada Juni 2020, berupa realisasi penerimaan pajak. Namun, penerimaan pajak pada Juli kembali terkontraksi cukup dalam.
Realisasi penerimaan pajak per Juli 2020 sebesar Rp 601,9 triliun atau tumbuh negatif 14,7 persen. Sebelumnya, pada Juni, pertumbuhan negatif sempat melandai dibandingkan dengan April dan Mei. Namun, tren pemulihan tidak bertahan seperti perkiraan semula.
Pada Juli, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menggambarkan aktivitas konsumsi masyarakat kembali turun 12 persen secara tahunan. Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) karyawan dan korporasi juga kembali masuk zona negatif, masing-masing terkontraksi 20,38 persen dan 45,55 persen.
”Tanda-tanda dari penerimaan perpajakan harus diwaspadai. Pemulihan ekonomi masih sangat dini, bahkan rapuh, sehingga masih harus diperkuat,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers APBN edisi Agustus 2020, Selasa (25/8/2020).
Berbagai indikator pemulihan ekonomi terus dipantau. Jika aktivitas ekonomi dan kepercayaan masyarakat membaik pada Agustus, momentum pemulihan terjaga dan Indonesia terhindar dari resesi. Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 diproyeksikan minus 2 persen hingga 0 persen.
Sementara, realisasi belanja pemerintah pusat dan transfer dana ke daerah pada Juli 2020 sebesar Rp 1.252,4 triliun atau tumbuh 1,3 persen secara tahunan. Padahal, Juli 2019, realisasi belanja negara tumbuh 7,9 persen secara tahunan.
Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan belanja tahun ini lebih sulit daripada tahun-tahun sebelumnya. APBN 2020 berubah dua kali dengan nilai belanja yang jauh lebih tinggi daripada tahun lalu. Namun, realisasi belanja akan tetap didorong pada triwulan III dan IV-2020 melalui program pemulihan ekonomi nasional.
Proyeksi 2020
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 berkisar negatif 1,1 persen hingga 0,2 persen. Adapun konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh negatif 1,3 persen hingga 0 persen. Investasi juga diproyeksikan tumbuh minus 4,2 hingga minus 2,6 persen, ekspor tumbuh minus 5,6 hingga minus 4,4 persen, dan impor tumbuh minus 10,5 sampai dengan minus 8,4 persen secara tahunan. Hanya konsumsi pemerintah yang diperkirakan tumbuh positif pada tahun ini, yakni 2-4 persen.
Sri Mulyani menekankan, konsumsi dan investasi menjadi kunci utama agar pertumbuhan ekonomi bisa kembali positif. Jika pertumbuhan konsumsi dan investasi masih negatif, kemungkinan pertumbuhan ekonomi keluar dari zona negatif atau 0 persen sangat sulit.
Salah satu upaya pemerintah mendorong pertumbuhan konsumsi melalui penyaluran bantuan sosial. Namun, harus diakui, penyaluran bansos tidak cukup mendorong pertumbuhan konsumsi ke level 0 persen. Kelompok kelas menengah dan atas harus ikut memulihkan belanja.
”Kepercayaan konsumen sangat penting. Meski belanja bansos dinaikkan sampai dengan 55 persen, pemerintah tidak bisa sendirian mengembalikan fungsi konsumsi,” kata Sri Mulyani.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menambahkan, sejauh ini aktivitas ekonomi Juli ke Agustus lebih baik dibandingkan dengan aktivitas serupa dari Mei ke Juni. Namun, penambahan aktivitas ekonomi tidak secepat ekspektasi. Pemerintah terus memantau dampak aktivitas ekonomi ke penerimaan perpajakan.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, optimisme dunia usaha terkait pemulihan ekonomi pada paruh kedua 2020 dipengaruhi upaya pemerintah dalam penanganan Covid-19. Jumlah kasus baru harus ditekan seminim mungkin untuk menciptakan kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat akan memengaruhi daya beli dan geliat dunia usaha. Selama ini pemerintah bisa mendorong daya beli penduduk miskin atau menengah ke bawah melalui penyaluran bansos. Namun, daya beli penduduk kelas menengah atas sangat bergantung pada upaya menahan penyebaran virus.