Pengusaha diberikan tambahan potongan angsuran Pajak Penghasilan impor Pasal 25 menjadi 50 persen. Di sisi lain, minat pengusaha untuk memanfaatkan insentif pajak relatif masih rendah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai insentif fiskal diberikan ke dunia usaha demi memutar roda ekonomi di tengah pandemi. Insentif fiskal terbaru berupa tambahan potongan angsuran Pajak Penghasilan impor dari 30 persen menjadi 50 persen.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama menuturkan, tambahan potongan angsuran pajak mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini. Tingkat produksi dan penjualan dunia usaha masih rendah sehingga perlu diberikan stimulus ekstra.
Insentif potongan Pajak Penghasilan (PPh) impor Pasal 25 dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak yang bergerak pada 1.013 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapat fasilitas kemudahan impor untuk tujuan ekspor, dan perusahaan di kawasan berikat sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110 Tahun 2020.
Sama seperti stimulus pajak lain, kata Hestu, prosedur pengajuan dilakukan secara daring melalui laman Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Penurunan angsuran PPh impor berlaku sejak pengajuan disampaikan.
Bagi wajib pajak yang sudah mengajukan pengurangan angsuran pajak, maka stimulus ini berlaku sejak masa pajak Juli 2020. ”Penurunan angsuran pajak ini berlaku sampai dengan masa pajak Desember 2020,” ujar Hestu yang dihubungi Senin (24/8/2020).
Tambahan potongan angsuran pajak mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini. Tingkat produksi dan penjualan dunia usaha masih rendah sehingga perlu diberikan stimulus ekstra.
Sejauh ini pemerintah telah menerbitkan empat jenis insentif pajak bagi dunia usaha, yaitu PPh 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh 22 impor, pengembalian pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), penurunan tarif PPh badan, dan PPh final UMKM ditanggung pemerintah.
Insentif pajak di luar fasilitas tambahan lain, seperti penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan serta pembebasan biaya beban atau abonemen listrik bagi pelanggan sosial, bisnis, dan industri.
Namun, realisasi insentif bagi dunia usaha ini relatif rendah. Penyerapan insentif pajak per 7 Agustus 2020 baru terealisasi 13,7 persen. Serapan yang rendah diduga akibat sosialisasi yang terbatas dan kekhawatiran dari wajib pajak terkait aspek pengawasan atau pemantauan dari pemberian insentif pajak.
Minat rendah
Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, fakta lapangan menunjukkan minat wajib pajak untuk mengajukan insentif perpajakan relatif rendah karena pertimbangan besaran, risiko, administrasi, dan sosialisasi.
”Kemarin sempat beredar isu banyak klasifikasi lapangan usaha ditolak karena dianggap tidak sesuai. Isu-isu simpang siur ini akan memengaruhi pertimbangan pengusaha untuk mengajukan insentif,” ujarnya.
Menurut Fajry, rendahnya minat pengajuan insentif pajak juga dipengaruhi kondisi ekonomi perusahaan yang tidak memungkinkan. Banyak pengusaha mengalami penurunan penghasilan signifikan sehingga memilih tak mengajukan insentif PPh. Besaran insentif juga menjadi pertimbangan tersendiri.
Fajry menegaskan, pemberian insentif pajak untuk 2021 perlu dievaluasi. Merujuk laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), evaluasi pemberian insentif pajak mesti dikaitkan dengan peningkatan produktivitas. Jika insentif diberikan ke sektor usaha yang tidak tepat, tidak akan meningkatkan produktivitas.
Pemberian insentif pajak memang perlu lebih selektif. Insentif sebaiknya memprioritaskan sektor-sektor yang masih terkena dampak Covid-19, seperti pariwisata dan transportasi udara. ”Adapun insentif untuk sektor usaha yang cepat pulih perlu dievaluasi implikasinya terhadap pengurangan potensi penerimaan,” katanya.
Evaluasi pemberian insentif pajak mesti dikaitkan dengan peningkatan produktivitas. Jika insentif diberikan ke sektor usaha yang tidak tepat, tidak akan meningkatkan produktivitas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akhir pekan lalu, menyampaikan, penerimaan perpajakan pada masa pemulihan ekonomi tahun 2021 akan tumbuh 5,5 persen. Pertumbuhan relatif rendah karena kebijakan penerimaan pajak masih diarahkan untuk pemberian insentif ke sektor-sektor usaha yang terkena dampak Covid-19.
Insentif pajak yang disiapkan pada 2021 di antaranya percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), insentif Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor, pajak ditanggung pemerintah, pembebasan pajak (tax holiday), dan pengurangan pajak (tax allowance).