Investor Mundur Jadi Preseden Buruk Iklim Investasi
Shell, perusahaan migas asal Belanda, berniat hengkang dari Blok Masela, Maluku. Rencana ini dikhawatirkan mengganggu proyek produksi gas blok tersebut yang dijadwalkan pada triwulan II-2027.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi gas Blok Masela, Maluku, tak boleh terganggu rencana Shell, salah satu investor di blok minyak dan gas bumi tersebut, yang akan keluar dari proyek itu. Shell, perusahaan asal Belanda, memegang 35 persen di Blok Masela, sedangkan Inpex Corporation, perusahaan asal Jepang, menguasai 65 persen saham.
Akan tetapi, langkah Shell bisa menjadi preseden buruk iklim investasi di Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan perwakilan Inpex, Senin (24/8/2020). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto tersebut membahas kemajuan proyek pengembangan gas Blok Masela serta rencana mundurnya Shell dalam proyek.
”Komisi VII DPR mendesak Kepala SKK Migas agar memberi tenggat kepada Inpex untuk segera menuntaskan tantangan utama proyek gas Blok Masela. Harapannya agar produksi gas Blok Masela bisa tepat waktu pada triwulan II-2027,” kata Sugeng saat membacakan salah satu kesimpulan rapat.
Rencana Shell untuk mundur dari proyek Blok Masela disampaikan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. Menurut dia, rumor mengenai mundurnya Shell tersebut muncul pada awal 2019. Namun, ketika itu Shell membantah dan berkomitmen akan meneruskan investasi mereka di proyek Blok Masela saat ditanya kebenaran rumor tersebut.
”Mereka (Shell) sudah mengajukan pembukaan data dan sudah disetujui Kementerian ESDM. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun sudah memberi persetujuan. Pembukaan data (menyangkut kondisi Blok Masela) menjadi syarat dalam bagian rencana divestasi saham Shell yang diperkirakan butuh waktu 18 bulan. Selama masih di dalam kemitraan (dengan Inpex), Shell berkomitmen untuk mendukung proyek di Blok Masela,” ujar Dwi.
Harapannya agar produksi gas Blok Masela bisa tepat waktu pada triwulan II-2027.
Vice President Corporate Service Inpex Henry Banjarnahor menambahkan, proses divestasi di dunia hulu migas adalah hal yang biasa. Menurut dia, Shell sudah berbicara dengan Inpex mengenai rencana mereka mendivestasikan sahamnya di Blok Masela.
”Divestasi adalah hal yang biasa. Tapi, kami tetap berkomitmen melanjutkan proyek ini dan tetap bekerja sama dengan SKK Migas,” ujar Henry.
Sejumlah anggota Komisi VII DPR menyoroti rencana hengkangnya Shell dari Blok Masela tersebut. Mulyanto dari Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, mundurnya Shell bisa menjadi preseden buruk bagi iklim investasi hulu migas Indonesia. Namun, hal itu tak lepas dari tidak konsistennya sikap pemerintah di sektor hulu migas.
”Ibarat poco-poco. Dulu pemerintah memutuskan gas Blok Masela dikelola di laut, lalu kemudian berubah menjadi di darat. Setelah itu, skema bagi hasil cost recovery (biaya operasi yang dapat dipulihkan) digantikan dengan gross split (bagi hasil berdasar produksi bruto). Kemudian dikembalikan lagi menjadi tidak wajib gross split,” kata Mulyanto.
Maman Abdurrahman dari Partai Golkar justru mengapresiasi Inpex yang masih bertahan untuk berinvestasi di Blok Masela. Kendati keputusan pemerintah pada Blok Masela kerap berubah-ubah, Inpex sama sekali tidak mengurangi komitmen mereka untuk tetap melanjutkan operasi.
Kendati keputusan pemerintah pada Blok Masela kerap berubah-ubah, Inpex sama sekali tidak mengurangi komitmen mereka untuk tetap melanjutkan operasi.
Ditemukan pada 1998, Blok Masela memiliki cadangan terbukti gas sebesar 18,5 triliun kaki kubik. Pada awalnya, pemerintah menyetujui gas blok tersebut dikelola di laut lepas. Setelah terjadi polemik tentang pilihan lokasi pengelolaan gas, pada Maret 2016 Presiden Joko Widodo mengumumkan agar gas dikelola di darat. Dalam rencana pengembangan yang diajukan Inpex dan Shell, biaya pengelolaan gas di laut sebesar 14 miliar dollar AS. Dengan rencana pengelolaan gas di darat, biaya investasi membengkak menjadi 19,8 miliar dollar AS.
Rencana produksi gas Blok Masela sebanyak 9,5 juta ton gas alam cair (LNG) per tahun dan gas pipa sebesar 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Perhitungan pemerintah menyebutkan, penerimaan kotor dari Blok Masela mencapai 118,4 miliar dollar AS atau hampir Rp 1.700 triliun selama beroperasi. Dari jumlah itu, sebesar 38,9 miliar dollar AS atau Rp 525 triliun merupakan bagian negara, sedangkan sisanya adalah bagian kontraktor dan cost recovery.