Harga Karet Sumsel Terdongkrak Pemulihan Ekonomi Negara Importir
Dalam tiga minggu terakhir, harga karet di Sumsel mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Ini disebabkan meningkatnya permintaan karena perekonomian di negara importir yang mulai menggeliat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
BANYUASIN, KOMPAS — Dalam tiga minggu terakhir, harga karet di Sumatera Selatan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan ini didorong meningkatnya permintaan dari negara-negara importir yang perekonomiannya mulai bergeliat lagi. Hanya saja, harga belum mencapai nilai psikologis petani lantaran masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga bahan pokok.
Data dari Dinas Perkebunan Sumatera Selatan menunjukan, pada minggu ketiga Agustus, rata-rata harga karet dengan kadar karet kering (K3) 100 persen mencapai Rp 15.835 per kilogram (kg), lebih tinggi dibandingkan dengan harga karet pada minggu pertama Agustus, yakni Rp 14.789 per kg. Adapun rata-rata harga karet yang diterima petani swadaya pada minggu pertama Agustus sebesar Rp 5.916 per kg. Pada minggu ketiga Agustus, harga meningkat menjadi Rp 6.334 per kg.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex Kurniawan Eddy, Senin (24/8/2020), menuturkan, di pasar ekspor, harga bokar (bahan olahan karet) di atas kapal (free on board/FOB) mencapai 1,31 dollar AS. Ini jauh lebih baik dibandingkan dengan rata-rata harga karet pada Mei yang menjadi harga terendah sepanjang berjalannya tahun 2020, yakni 1,09 dollar AS.
Dia menjelaskan, kenaikan harga ini disebabkan mulai menggeliatnya ekonomi di sejumlah negara importir karet, terutama China yang sudah mampu mengatasi pandemi Covid-19. Tak hanya China, Amerika Serikat dan sebagian negara di Eropa juga melakukan hal serupa. ”Itulah sebabnya, sejak Juli hingga saat ini, ada pergerakan tren harga yang cukup positif,” ucapnya.
Sebelumnya, harga karet anjlok karena sejumlah negara importir menerapkan lockdown atau isolasi wilayah. Mereka mengurangi penyerapan komoditas impor, termasuk karet. Alhasil, pada Maret-Mei lalu, beberapa perusahaan yang menyerap karet dari Indonesia memutuskan menuda pengiriman.
Gapkindo mencatat, penurunan ekspor karet Sumsel sudah terlihat pada Maret lalu di mana jumlahnya hanya 71.424 ton. Angka terus turun menjadi 63.860 ton pada April dan 48.376 ton pada Mei. Kenaikan ekspor baru terjadi pada Juni (70.958 ton).
Beruntung, kesepakatan hanya berupa penundaan kontrak pengiriman, bukan pembatalan.
Kenaikan itu merupakan pemenuhan pengiriman karet yang sempat tertunda pada tiga bulan sebelumnya. ”Beruntung, kesepakatan hanya berupa penundaan kontrak pengiriman, bukan pembatalan,” ucap Alex.
Pada Agustus ini, baru ada pembelian karet karena stok yang sudah mulai menipis. ”Di sisi lain, ada langkah beli karet oleh para spekulan mengingat pada Agustus hingga Sepetember biasanya Sumsel sudah memasuki masa gugur daun,” ucap Alex.
Namun, dia memprediksi harga karet bisa kembali pulih pada kuartal pertama tahun 2021. Hal ini menyusul hadirnya vaksin Covid-19 yang diperkirakan terjadi pada akhir tahun ini.
Sebenarnya, tutur Alex, harga karet bisa saja lebih tinggi saat ini jika ada bantuan dari pemerintah kepada eksportir karet di Sumsel. Bantuan ini berupa keringanan bunga pinjaman bank, keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), biaya listrik, dan tarif gas. ”Usulan ini sudah disampaikan sejak pandemi ini merebak di Sumsel, tetapi baru PPN yang disetujui untuk diturunkan,” ucapnya.
PPN bokar diturunkan dari 10 persen menjadi 1 persen. Alex mengungkapkan, andai saja ada beberapa keringanan lain yang diberikan, harga di tingkat petani bisa lebih baik karena ongkos produksi lebih ringan.
Jumirin, petani karet di Banyuasin, Sumsel, mengakui adanya kenaikan harga karet yang cukup signifikan di tingkat Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB). Harga karet mingguan pada Rabu pekan lalu sekitar Rp 8.300 per kg. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan harga karet pada periode yang sama bulan lalu, yakni Rp 7.000 per kg.
Namun, ujar Jumirin, harga ini belum memenuhi harga psikologi petani lantaran masih jauh di bawah harga beras. ”Harga ideal sekitar Rp 10.000 per kg,” ucapnya. Meski begitu, dia menilai ini masih lebih baik dibandingkan dengan yang dialami petani yang tidak tergabung di UPPB karena harga karet yang mereka terima hanya sekitar Rp 6.000 per kg.
Walau harga karet meningkat, ujar Jumirin, produksi karet menurun seiring masih terjadinya fenomena gugur daun. ”Produksi karet di tingkat petani menurun hingga 40 persen akibat gugur daun,” ucapnya.
Saat ini, kebun karetnya hanya mampu menghasilkan sekitar 60 kg per minggu per hektar. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelum masa gugur daun di mana kebunnya bisa menghasilkan sekitar 100 kg per minggu per hektar.
Jangankan untuk membeli pupuk, harga karet saja tidak cukup untuk membeli sekilo beras.
Penurunan produksi ini juga disebabkan pemberian pupuk yang tidak optimal. Hal tersebut dipicu rendahnya harga sehingga membuat petani kesulitan memupuk kebun karetnya. ”Jangankan untuk membeli pupuk, harga karet saja tidak cukup untuk membeli sekilo beras,” ucap Jumirin.
Kondisi ini pula yang membuat sebagian petani karet beralih ke komoditas kelapa sawit yang dinilai lebih menguntungkan. ”Mereka yang beralih ini biasanya yang kebun karetnya sudah tua dan tidak menghasilkan lagi,” ucapnya.
Mengatasi permasalahan ini, Ketua UPPB Nasional Sugeng Hartadi mengungkapkan, menurunnya produksi kebun petani disebabkan performa pupuk yang tidak optimal. Kebanyakan petani karet menggunakan pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan sehingga membuat tanah rusak.
Itulah alasan mengapa sejak dua tahun terakhir dirinya mencoba menggunakan pupuk organik cair (POC) yang dia ciptakan sendiri. POC itu diberikan dengan mekanisme biopori atau menyiramkannya pada batang karet. Dalam satu hektar karet, hanya dibutuhkan sekitar 100 liter pupuk cair. Alhasil, potensi gugur daun di kebunnya jauh berkurang. ”Kalaupun mengalami gugur daun, hanya terjadi sekali setahun, tidak seperti di kebun lain yang bisa berkali-kali,” ucap Sugeng.
POC ini terbuat dari daun hijau kering dari sejumlah tanaman yang memiliki batang dan ranting. ”Bahannya pun tidak sulit didapat karena ada di sekitar kebun karet,” ucapnya.
Selain mampu menahan potensi gugur daun, pupuk ini jauh lebih murah dibandingkan dengan pupuk kimia. ”Untuk sembilan bulan, biaya yang dikeluarkan untuk pupuk kimia sekitar Rp 3 juta per hektar. Untuk pupuk organik ini, petani hanya mengeluarkan biaya Rp 1,2 juta per hektar,” ucapnya.
Sugeng berencana mengedukasi petani karet untuk menggunakan POC sehingga kebun karet mereka dapat berproduksi optimal. ”Saya berharap dengan inovasi ini hasil perkebunan karet bisa meningkat, petani pun bisa lebih sejahtera,” ujarnya.