Meski ada perkembangan terkait kluster ketenagakerjaan, masalah lain dalam RUU Cipta Kerja masih tersisa. Berbagai persoalan ini harus dituntaskan.
Oleh
Agnes Theodora/Karina Isna Irawan
·3 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Mahasiswa beraksi dengan tetap menjaga jarak di depan kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Kamis (16/7/2020). Siang itu, puluhan mahasiswa dari Universitas Palangka Raya (UPR) melakukan aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
JAKARTA, KOMPAS — DPR dan kelompok buruh sepakat mengembalikan sejumlah ketentuan ketenagakerjaan di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke kondisi semula sebelum rancangan aturan itu dibuat. Namun, masih ada persoalan krusial lain di luar kluster ketenagakerjaan yang mesti dituntaskan.
Kesepahaman DPR dengan sejumlah serikat pekerja dan buruh itu dicapai setelah negosiasi tertutup dalam satu pekan terakhir. Atas undangan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, pimpinan serikat pekerja dan buruh dikumpulkan di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, selama dua hari untuk berdiskusi bersama perwakilan fraksi-fraksi partai politik di DPR.
Dalam konferensi pers, Jumat (21/8/2020), DPR dengan konfederasi serikat pekerja dan buruh sepakat mengembalikan sejumlah ketentuan dalam kluster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Beberapa ketentuan yang sudah pernah diatur dalam putusan MK, antara lain, terkait pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta jaminan sosial.
Sementara ketentuan terkait sanksi pidana ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dikembalikan sesuai ketentuan yang saat ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Poin-poin itu menjadi keberatan utama kelompok buruh sejak awal penyusunan RUU karena dinilai menguntungkan pengusaha, tetapi merugikan hak dan kesejahteraan buruh.
Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, kesepakatan yang sudah dicapai dengan kelompok buruh akan dibawa dalam substansi pembahasan RUU Cipta Kerja dengan pemerintah. ”Mudah-mudahan semua yang sudah disepakati bersama ini bisa diimplementasikan ke dalam RUU Cipta Kerja yang akan dibahas DPR dan pemerintah dalam waktu segera,” katanya.
Sejumlah fraksi yang menyepakati hal ini, antara lain, Fraksi Partai Gerindra, PDI-P, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Nasdem. Namun, mereka masih perlu merumuskan sikap resmi serta meyakinkan pemerintah dan fraksi lain untuk menerima hasil negosiasi tersebut.
Sejak awal, penyusunan RUU dinilai menguntungkan pengusaha, tetapi merugikan hak dan kesejahteraan buruh.
Kendati mengapresiasi hasil kesepahaman, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, kelompok buruh tetap ingin agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan sepenuhnya dari RUU Cipta Kerja.
Said Iqbal menambahkan, sejumlah ketentuan di RUU Cipta Kerja yang sebelumnya tidak diatur di UU No 13/2003 tetap memungkinkan dipertahankan dalam draf RUU. ”Terkait hubungan ketenagakerjaan yang lebih adaptif terhadap perkembangan industri, pengaturannya dapat dimasukkan dan terbuka terhadap masukan publik,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, setelah dialog forum tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja/buruh, draf RUU Cipta Kerja khusus kluster ketenagakerjaan sudah disempurnakan untuk segera dibahas dengan DPR. ”Drafnya sudah tidak seperti draf awal yang kami serahkan ke DPR. Sudah ada penyempurnaan setelah mendapat aspirasi dan pandangan dari para pekerja dan pengusaha,” katanya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional Ristadi, yang ikut dalam forum tripartit bersama pemerintah dan pengusaha, mengatakan, kelompok buruh memperjuangkan hal yang sama meskipun lewat jalur berbeda. ”Semua jalur kami manfaatkan, lewat pemerintah dan DPR. Harapannya, hasil dari kedua tim bisa dimasukkan ke dalam daftar isian masalah RUU Cipta Kerja,” katanya.
Pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini mengingatkan, RUU Cipta Kerja harus mempertimbangkan perubahan struktur dan peluang ekonomi pascapandemi. Jika tidak menyertakan pertimbangan itu, regulasi baru hanya akan menambah masalah.
”Jangan memaksakan karena risikonya sangat besar. Kalau regulasinya tepat, akan menjadi lompatan luar biasa. Jika tidak, mengapa tidak kita tinjau kembali?” katanya.
Hendri mencontohkan, RUU Cipta Kerja disusun untuk mengatasi permasalahan investasi. Namun, regulasi yang tecermin hanya untuk memudahkan investasi. Padahal, masalah terkait investasi sangat luas, antara lain soal kemudahan investasi, kesenjangan kepemilikan aset, dan akses sumber daya.
Namun, regulasi yang tecermin hanya untuk memudahkan investasi.