Di antara sepinya aktivitas warga Jakarta akibat pandemi Covid-19, para pedagang keliling bertahan mengadu nasib. Pemasukan yang seret tetap dinantikan demi mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 memaksa pedagang keliling di Jakarta lebih lihai dalam melihat peluang. Berbagai strategi ditempuh agar mereka tak bangkrut di tengah perekonomian warga yang tengah lesu. Akan tetapi, selesu-lesunya gerak Ibu Kota, masih ada sejumput rezeki yang bisa dikantongi para pedagang ini.
Pada Kamis (20/8/2020) siang, Wahidin (55), pedagang ketoprak, tidak lagi mangkal di Jalan Taman Jati Baru, Jakarta Pusat. Ia pindah ke belakang Kementerian Perhubungan di Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat. Langkah ini dipilih karena sekarang hari libur dan tak ada pembeli di Jati Baru.
Beberapa hari lalu, ia melihat banyak pekerja proyek berseliweran di kementerian itu. Dia pun melihat potensi calon konsumen. ”Sekarang, kan, hari libur. Kalau bertahan di Jati Baru pasti enggak ada yang beli. Makanya geser ke sini. Di sini ada pekerja proyek yang lagi renovasi bangunan. Lumayan, lha, daripada enggak jualan sama sekali,” kata Wahidin.
Kemampuannya membaca situasi ini terlatih selama 20 tahun berdagang. Sejak tahun 2000, ia mengadu nasib berdagang ketoprak di Jakarta. Hilir mudik orang terpantau pengamatannya selama ia berkeliling untuk memasarkan makanan ini. Benar saja. Kurang dari 30 menit, sudah tiga orang memesan ketoprak Wahidin. Dia sangat terlatih menggiling bumbu kacang dan mencampurnya dengan ketupat. Tak sampai lima menit, seporsi ketoprak siap dibawa pulang.
Menurut Wahidin, pandemi Covid-19 membuat situasi Jakarta berubah drastis. Jumlah karyawan kantor tak lagi sebanyak biasanya. Beberapa pelanggannya yang bekerja di kantor tak lagi mampir di gerobak Wahidin. ”Konsumen kurang sekali, mungkin pada takut kena korona kalau pesan makanan keliling,” ujarnya.
Kurangnya konsumen saat ini berdampak pada penurunan omzet. Biasanya, Wahidin bisa menghabiskan 100 ketupat per hari. Kini, menghabiskan 50 ketupat per hari saja sulit. Kalau 50 ketupat terjual, Wahidin bisa mengantongi omzet Rp 400.000.
Kendati demikian, tak banyak pilihan yang bisa diambil Wahidin. Ia tidak punya bayangan pekerjaan di kampung halamannya, Brebes, Jawa Tengah. Meracik ketoprak menjadi keahlian yang menghidupinya puluhan tahun. ”Saya mesti harus bertahan dalam situasi sulit. Paling tidak untuk bertahan hidup di Jakarta hingga situasi membaik,” ujarnya.
Kemampuan melihat potensi pasar juga dimiliki pedagang minuman liang teh manis Cahyono (38). Sebelum sampar melanda Indonesia, dia menyambangi sekolah-sekolah saat jam istirahat. Kini, sekolah masih tutup. Ia pun harus mengubah pola berkeliling.
Kamis siang ini, ia mangkal di Jalan Abdul Muis. Lokasi pilihannya adalah tempat mangkal sejumlah pengojek daring. Saat itu, ada empat pengojek daring membeli es teh seharga Rp 5.000 per gelas.
Menurut Cahyono, Covid-19 telah membuat sejumlah pedagang keliling menyerah dan pulang kampung. ”Biasanya, di samping saya ada penjual cilok. Sekarang sudah enggak ada karena dia sudah pulang kampung,” jelasnya.
Cahyono memilih bertahan meski omzetnya tak sampai Rp 100.000 per hari. Sebab, dia berencana untuk mengganti dagangan. ”Saya ingin jualan bakso. Kalau jual es ini sangat tergantung sama cuaca. Kalau sudah hujan, bubar. Ini saya sedang mencari lokasi mangkal di dekat perkantoran yang sewa lapaknya tidak terlalu mahal,” kata warga Kuningan, Jawa Barat, ini.
Pedagang buah di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, Kariri (58), pun mengonfirmasi bahwa sejumlah rekan sejawatnya mundur sebagai pedagang keliling. Di kontrakan Kariri sebelumnya terdapat 10 orang yang sama-sama pedagang buah. ”Kini, tinggal tiga orang,” jelasnya.
Kariri mengakui, omzet pedagang buah di masa pandemi Covid-19 juga anjlok. Namun, sisi baiknya adalah razia satuan polisi pamong praja tidak serutin hari biasa. Jadi, dia bisa berjualan tanpa rasa takut.
Kariri berdagang di Jalan Juanda hingga pukul 15.00. Setelah itu, ia beranjak ke depan Hotel Grand Mercure di Harmoni, Jakarta Pusat. Di sini, ia bisa berjualan hingga tengah malam.
”Sekarang enggak mikirin untung banyak dulu. Yang penting dapur tetap ngebul,” kata warga Cirebon, Jawa Barat, ini. Keyakinan Kariri ini juga dianut pedagang makanan keliling yang tetap mencari celah di tengah pandemi Covid-19.
Sekarang enggak mikirin untung banyak dulu. Yang penting dapur tetap ngebul.