Mengantisipasi Dinamika Ekonomi, BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 4 Persen
Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan level suku bunga acuan di posisi 4 persen sebagai langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun ruang pelonggaran moneter masih luas karena inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terkendali, Bank Indonesia memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan. Keputusan diambil untuk mengantisipasi dampak dinamika perekonomian dan pasar keuangan global terhadap perekonomian Indonesia.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Selasa-Rabu, 18-19 Agustus 2020, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 4 persen. BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility di level 3,25 persen, dan suku bunga lending facility di level 4,75 persen.
Deposit facility adalah simpanan bank dalam bentuk rupiah di Bank Indonesia, sedangkan lending facility adalah pinjaman bank dalam bentuk rupiah dari Bank Indonesia.
Dalam paparan secara virtual, Rabu (19/8/2020), Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan diambil dengan mempertimbangkan keperluan BI menjaga stabilitas eksternal di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah.
”Bank Indonesia akan mencermati dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu dalam mengambil langkah-langkah kebijakan lanjutan yang diperlukan,” ujarnya.
Keputusan mempertahankan suku bunga acuan juga merupakan bagian dari penguatan bauran kebijakan nasional untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. BI menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional akibat dampak Covid-19, termasuk dukungan Indonesia kepada pemerintah dalam realisasi APBN 2020.
Perry menilai keputusan mempertahankan suku bunga acuan sudah sesuai dengan tren inflasi yang tetap rendah.
Bank Indonesia akan mencermati dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Juli 2020 terjadi deflasi 0,1 persen. Sejak awal tahun hingga Juli 2020, inflasi sebesar 0,98 persen.
”Angka perkembangan inflasi tersebut masih berada di bawah kisaran sasaran 2 persen hingga 4 persen,” ujar Perry.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2020 surplus 9,2 miliar dollar AS, sedangkan defisit transaksi berjalan turun menjadi 1,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kenaikan surplus transaksi modal dan finansial didorong aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik sejalan dengan besarnya likuiditas global.
”Selain itu, tingginya daya tarik aset keuangan domestik dan terjaganya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian domestik juga mendorong aliran modal ke pasar portofolio,” kata Perry.
Di tengah kondisi pandemi, posisi cadangan devisa pada akhir Juli meningkat menjadi 135,1 miliar dollar AS. Ketersediaan devisa masih cukup untuk kebutuhan pembiayaan sekitar sembilan bulan impor atau 8,6 bulan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Posisi itu masih mencukupi standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Nilai tukar
Perry mengatakan, nilai tukar rupiah juga tetap terkendali meskipun pada Juli 2020 melemah akibat kondisi pasar global. Pada Juli 2020, nilai tukar rupiah terdepresiasi 2,92 persen secara rata-rata harian dibandingkan dengan Juni 2020.
”Rupiah masih berpotensi menguat pada akhir tahun. BI akan terus memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dengan mekanisme triple intervention di pasar spot, SBN, dan pasar sekunder pada saat pasar mendapat tekanan,” katanya.
Peneliti ekonomi senior Institut Kajian Strategis (IKS) Universitas Kebangsaan Republik Indonesia, Eric Sugandi, menilai, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan sudah tepat. Itu karena pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut berisiko menekan nilai tukar rupiah dan tidak banyak manfaatnya untuk mendorong pertumbuhan penyaluran kredit yang masih lemah dari sisi permintaan.
”Kebijakan BI sebenarnya telah memfasilitasi likuiditas pasokan kredit. Namun, jika permintaan masyarakat terhadap kredit masih lemah, penyaluran kredit tidak akan terdorong hanya karena penurunan suku bunga,” ujarnya.
Pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut berisiko menekan nilai tukar rupiah.
Sisi permintaan terhadap kredit, lanjut Eric, masih lemah karena investor sektor riil masih belum agresif dalam melakukan ekspansi. Ini terjadi karena konsumsi rumah tangga juga masih berada dalam tekanan.
Sementara itu, dari sisi pelaku industri keuangan, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Haru Koesmahargyo menilai, kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi saat ini masih meninggalkan ruang untuk pelonggaran moneter, termasuk pemangkasan suku bunga acuan.
Ruang pelonggaran tersebut, lanjut Haru, juga semakin luas karena posisi cadangan devisa Indonesia saat ini masih memadai apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali melemah.
”Walau ada tantangan pelemahan nilai tukar, kami yakin cadangan devisa BI masih cukup untuk mengatasi pelemahan rupiah yang sifatnya temporer,” kata Haru.