Belum Ada Bantuan Khusus untuk Pekerja Informal
Meski sektor informal menyerap jumlah tenaga lebih besar daripada sektor formal, namun bantuan pemerintah masih minim bagi mereka. Padahal di tengah Covid-19, mereka yang mengandalkan pendapatan harian paling terpukul.
JAKARTA, KOMPAS – Dalam struktur ketenagakerjaan, sektor informal lebih banyak menyerap jumlah tenaga kerja dibandingkan sektor formal. Namun karena tidak tercatat dalam struktur ketenagakerjaan secara formal, bantuan pemerintah pun luput dari tangan mereka.
Sebagai contoh, pemerintah akan menyubsidi sebanyak 13,8 juta pekerja formal yang bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan dengan nilai Rp 600.000 per bulan sebanyak dua kali. Kondisi ini tentu “melupakan” para pekerja informal yang sebenarnya lebih terdampak Covid-19 karena mengandalkan pendapatan harian.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Februari 2020, jumlah pekerja informal mencapai 74,04 juta orang (56,50 persen), sementara pekerja formal sebanyak 56,99 juta orang (43,50 persen). Para pekerja informal mayoritas berstatus berusaha sendiri (24,58 juta orang) dan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar (21,51 juta orang).
Hingga 31 Juli 2020, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan, ada 630.905 orang dari total 70,04 juta pekerja informal yang terdampak pandemi. Secara keseluruhan, sudah lebih dari 3,5 juta pekerja secara nasional yang terganggu pekerjaannya. Selain pekerja informal, ada 1.132.117 pekerja formal yang dirumahkan dan 383.645 orang terkena pemutusan hubungan kerja.
Sektor informal, apabila dilihat dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), memang berkontribusi hingga 60,34 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Namun, tidak ada kepastian apakah sektor informal hanya merujuk pada usaha mikro (63,36 juta unit, atau 98,68 persen) atau keseluruhan.
Dampak pandemi salah satunya dialami oleh Marlina (33), pekerja lepas yang biasa menangani konsultasi situs penginapan dan agen perjalanan daring di Bali masih dirundung ketidakpastian. Meski pariwisata Pulau Dewata dikatakan mulai kembali dibuka untuk wisatawan dalam dan luar negeri, pekerjaan dan penghasilannya belum pulih.
“Saya jadi pekerja lepas untuk dua penginapan dengan pendapatan Rp 6,5 juta per bulan. Namun sejak Maret lalu, pendapatan saya hanya setengahnya,” tuturnya saat dihubungi Kompas, Selasa (18/8/2020)
Dengan belum stabilnya ekonomi pariwisata di sana, termasuk di tempatnya biasa bekerja, ia mengaku menjadi lebih agresif menerima tawaran pekerjaan lepas di tempat lain yang sebelumnya biasa ia tolak. Kesempatan itu ia ambil agar tetap bisa menjaga penghasilan, yang kini hanya sebatas untuk biaya hidup dasar, seperti makan dan keperluan akomodasi.
“Saya sendiri tidak punya banyak hutang, tapi tabungan sudah banyak terkuras untuk biaya hidup sehari-hari,” ujarnya yang merantau sendiri di Bali.
Ada pun Agus (30), buruh di sektor logistik di Bekasi, Jawa Barat yang dirumahkan sejak 2 April 2020 dan kini harus bekerja serabutan memenuhi kebutuhan dirinya, istri, dan anak yang baru berusia 7 tahun. Meski dikatakan dirumahkan, namun per Juni 2020 ia tidak lagi akan menerima gaji dan tidak ada kepastian kapan akan kembali bekerja.
Ia pun sudah mencoba mendaftarkan diri di berbagai jenis bantuan sosial, termasuk Kartu Prakerja. Namun, meski sudah dua kali mencoba sejak gelombang pertama hingga gelombang kedua, ia tetap gagal.
Tabungan diakuinya semakin menipis karena tidak ada pemasukan lagi. Bahkan, uang tabungan sebesar Rp 700.000 yang awalnya akan digunakan untuk biaya anak masuk sekolah dasar terpaksa dipakai untuk membiayai kebutuhan harian.
“Saya tidak mendapat bantuan sosial apapun dari pemerintah karena sebelum dirumahkan, penghasilan bisa dikatakan cukup untuk keluarga. Jadi mungkin saya tidak terdaftar sebagai orang yang kekurangan,” kata Agus.
Baca juga: Pemerintah Subsidi 13,8 Juta Pekerja
Sambil menunggu kepastian dari pabrik, kini Agus mencoba berjualan pakan burung bersama temannya. “Saya rencananya menjual menjual 1 sampai 2 kilogram (kg) pakan burung per hari untuk dimasukkan ke toko-toko,” ucapnya.
Tak menjawab kebutuhan
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyampaikan, pemerintah juga akan mencari solusi terbaik untuk pekerja informal. Khususnya, bagi mereka yang tidak terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Pekerja informal masih bisa mendapatkan bantuan sosial atau bantuan pemerintah lainnya. Misalnya, mereka bisa diprioritaskan untuk masuk program Kartu Prakerja yang telah masuk gelombang V.
“Alhamdulillah, batch IV sudah memenuhi untuk 800 ribu peserta dan sebagaimana arahan Presiden dan Pak Menko (Bidang Perekonomian), temen-temen yang terkena pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan, mendapatkan prioritas untuk batch berikutnya,” ujarnya seusai acara “Dialog Kemerdekaan: Memerdekakan Pekerja Migran Indonesia Menuju Indonesia Maju” di Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Minggu (16/8/2020).
Program Prakerja memungkinkan penerimanya mendapat insentif sampai Rp 3,55 juta yang terdiri atas voucher membeli pelatihan melalui mitra prakerja senilai Rp1 juta. Sementara insentif Rp 2,4 juta dibagi dalam empat bulan, lalu insentif dari pengisian survei sebesar Rp150.000 untuk tiga kali survei.
Di sisi lain, pemerintah telah mulai mengumpulkan 12 juta rekening pekerja formal dari sektor swasta dan nonpemerintahan dengan gaji di bawah Rp 5 juta. Pekerja anggota BPJS Ketenagakerjaan akan diberikan insentif gaji Rp 600.000 per bulan selama September - Desember 2020.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menyangsikan penyaluran bantuan kepada pekerja informal melalui Program Prakerja. Pasalnya, kuota peserta di gelombang 1-3 yang sebanyak 5,6 juta orang belum banyak menyerap pekerja informal.
Berdasarkan data Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, sejak program itu dibuka pada April 2020, baru 1 persen pelaku usaha mikro dan kecil (informal) yang menjadi peserta program. Presentasi ini setara 7.396 orang dari total 680.918 peserta.
“Program itu juga bergantung pada data pekerja yang terkena dampak pandemi Covid-19 di Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, data itu gagal menangkap kondisi pekerja informal secara menyeluruh,” katanya.
Perbarui data
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), Mirah Sumirat menyampaikan, bantuan pemerintah selama ini masih berbasis pada data pekerja yang sudah terdaftar dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Agar pekerja informal juga tercatat, maka harus dimulai dari tingkat rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan yang mengetahui langsung keadaan warga setempat.
“Pemerintah harus segera memperbaharui data pekerja informal yang kebanyakan berada di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan tidak tercatat. Dalam pencatatan data, pemerintah juga bisa bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan serta asosiasi pekerja,” ujar Mirah.
Tidak hanya mengandalkan jemput bola dari pemerintah, Mirah mendorong warga sekitar untuk turut berperan dalam menginfokan tetangganya yang terdampak Covid-19, namun belum mendapatkan bantuan apapun. Upaya ini dapat dilakukan dengan melapor ke lembaga pemerintah atau menggunakan media sosial untku menyebarluaskan informasi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan menilai, data memang selalu menjadi persoalan utama di Indonesia. Terlebih di saat pandemi yang malah memunculkan perdebatan dalam penyaluran bantuan sosial.
“Kita harus mendorong adanya data sektor informal agar kebijakan itu tepat sasaran. Sebab, selama ini yang terpuruk adalah mereka (pekerja informal) karena mengandalkan pendapatan harian yang kini terdampak Covid-19,” ujar Abdul.
Baca juga: Pandemi Geser Struktur Ketenagakerjaan, Perhatikan Pekerja Informal
Pencatatan pekerja informal pun dapat dilakukan dengan kolaborasi, misalnya antara asosiasi serikat pekerja, asosiasi transportasi, asosiasi pariwisata. Pada dasarnya, terhadap para asosiasi yang terdampak pandemi Covid-19 karena mereka yang mengetahui setiap perkembangan anggotanya.