Laba Turun, Bank Mandiri Hadapi Ketidakpastian dengan Hati-hati
PT Bank Mandiri (Persero) menetapkan strategi pertumbuhan konservatif hingga akhir tahun 2020. Rasio kredit macet (NPL) akan meningkat ke kisaran 3,4-3,6 persen pada akhir tahun akibat pandemi Covid-19.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memilih strategi pertumbuhan konservatif sampai dengan akhir tahun ini. Ketidakpastian kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat risiko kredit meningkat sehingga ekspansi dan aksi korporasi dilakukan dengan lebih berhati-hati.
Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar memaparkan, saat ini perbankan Indonesia cukup berdaya tahan menghadapi krisis karena modal relatif kuat dan likuditas di pasar melimpah. Akan tetapi, perbankan tetap harus berhati-hati karena ketidakpastian masih sangat tinggi.
Di tengah pandemi, Bank Mandiri memfokuskan strategi perusahaan pada tiga tujuan, yakni mendorong kredit tumbuh positif, efisiensi biaya operasional, dan akselerasi layanan digital. Pertumbuhan sampai dengan akhir tahun ini ditetapkan konservarif melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan analisis sektor kredit yang bermasalah.
”Kami berharap pandemi tidak berlangsung lama. Paling tidak pertengahan tahun 2021 sudah ditemukan vaksin sehingga aktivitas ekonomi bisa kembali normal,” kata Royke dalam telekonferensi pers paparan kinerja triwulan II-2020, Rabu (19/8/2020).
Sepanjang semester I-2020, Bank Mandiri membukukan laba bersih Rp 10,293 triliun atau anjlok 23,93 persen secara tahunan. Per akhir Juni 2020, Bank Mandiri menambah cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) menjadi Rp 10,29 triliun atau meningkat 65,65 persen dibandingkan dengan CKPN per akhir Juni 2019 yang sebesar Rp 6,21 triliun.
Perbankan tetap harus berhati-hati karena ketidakpastian masih sangat tinggi.
Salah satu upaya Bank Mandiri meminimalkan dampak Covid-19 adalah menurunkan biaya operasional hingga 8,7 persen pada triwulan II-2020 serta mengakselerasi layanan digital. Pengguna aktif Mandiri Online kini sebanyak 3,8 juta pengguna dengan nilai transaksi sampai Juni 2020 tumbuh 43 persen secara tahunan.
Terkait program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah menempatkan dana di Bank Mandiri Rp 10 triliun untuk penyaluran kredit dengan target hingga Rp 30 triliun. Per 13 Agustus 2020, penyaluran kredit terealisasi Rp 26,9 triliun kepada 33.828 debitor. Mayoritas, yakni 66,9 persen, disalurkan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Silvano Winston Rumantir menuturkan, proyeksi pertumbuhan laba pada akhir tahun masih positif dengan mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi selama paruh kedua 2020. Penyaluran kredit, efisiensi biaya operasional, serta akselerasi digital akan menopang pertumbuhan laba.
”Terkait proyeksi laba, kami berkomitmen menjaga kinerja positif sampai akhir tahun,” ujar Silvano.
Untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi di masa mendatang, Bank Mandiri terus membangun pencadangan dan memastikan kualitas aset terjaga. Likuiditas perseroan juga dijaga pada level aman, didukung pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang mencapai 15,82 persen secara tahunan menjadi Rp 976,556 triliun per akhir Juni 2020.
Direktur Manajemen Risiko dan Kepatuhan Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin memaparkan, hampir semua debitor terkena dampak Covid-19 sehingga rasio kredit bermasalah (NPL) naik, dari 2,59 persen pada akhir Juni 2019 menjadi 3,28 persen pada akhir Juni 2020.
Penyaluran kredit Bank Mandiri tumbuh 4,38 persen secara tahunan menjadi Rp 871,66 triliun pada akhir semester I-2020.
Sementara kredit yang direstrukturisasi sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020 mencapai Rp 119,3 triliun dari 545.692 debitor. Dari jumlah kredit yang direstrukturisasi itu, kredit UMKM mencapai Rp 32,6 triliun dari 324.085 debitor. Restrukturisasi berupa penundaan pembayaran tagihan serta pembebasan bunga.
”Sebagian besar debitor yang terdampak Covid-19 sudah dibantu dengan restrukturisasi. Mereka tidak perlu bayar cicilan dulu,” ujar Ahmad.
Kendati mayoritas sudah tertangani, ada sejumlah debitor yang kualitas kreditnya memburuk cukup dalam. Umumnya kualitas kredit mereka sudah merosot sebelum pandemi Covid-19 sehingga pandemi membuat kondisi mereka lebih lebih buruk. Segmen ini diperkirkaan meningkatkan NPL ke level 3,4-3,6 persen pada akhir tahun 2020.
Ahmad menambahkan, kualitas kredit yang memburuk diproyeksikan mereda pada awal tahun 2021 sejalan dengan proses pemulihan ekonomi nasional ditambah pengaruh restrukturisasi kredit. Dengan demikian, percepatan perbaikan kualitas kredit akan terlihat pada pertengahan tahun depan.
Kualitas kredit yang memburuk diproyeksikan mereda pada awal tahun 2021.