Neraca perdagangan Indonesia periode Januari-Juli 2020 surplus 8,75 miliar dollar AS. Kondisi ini berbalik arah dari Januari-Juli 2019.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan ekspor Indonesia yang ditopang industri pengolahan cenderung membaik dan berpotensi pulih. Akan tetapi, perbaikan kinerja terancam terhambat impor bahan baku dan barang modal yang masih lesu.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada Januari-Juli 2020, neraca perdagangan Indonesia surplus 8,75 miliar dollar AS. Kondisi ini berbalik dari Januari-Juli 2019 yang defisit 2,15 miliar dollar AS.
Surplus pada Januari-Juli 2020 terjadi akibat surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar 12,56 miliar dollar AS menutup defisit neraca perdagangan migas sebesar 3,815 miliar dollar AS. Sementara itu, pada Januari-Juli 2019, neraca perdagangan nonmigas hanya sebesar 3,37 miliar dollar AS, tidak menutup defisit neraca perdagangan migas yang sebesar 5,52 miliar dollar AS.
Adapun dilihat dari sisi ekspor dan impor, akumulasi ekspor pada Januari-Juli 2020 sebesar 90,12 miliar dollar AS. Angka ini menutup akumulasi impor yang sebesar 81,37 miliar dollar AS. Sebaliknya, pada Januari-Juli 2019, akumulasi ekspor 96,09 miliar dollar AS, tidak bisa menutup akumulasi impor yang mencapai 98,24 miliar dollar AS.
Secara sektoral, ekspor industri pengolahan pada Januari-Juli 2020 mencapai 72,52 miliar dollar AS atau lebih rendah 0,67 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2019.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, perbedaan 0,67 persen itu tergolong tipis. ”Ke depan, kita harapkan trennya kembali ke posisi normal,” ujarnya saat konferensi pers dalam jaringan, Selasa (18/8/2020).
Impor pada Januari-Juli 2020 merosot 17,17 persen secara tahunan akibat impor barang modal yang anjlok 18,98 persen secara tahunan dan impor bahan baku/penolong yang merosot 17,99 persen secara tahunan.
Suhariyanto menambahkan, penurunan impor bahan baku patut diwaspadai karena dapat mengganggu kegiatan industri manufaktur. Penurunan impor barang modal juga mesti diperhatikan karena akan berdampak pada penetapan modal tetap bruto sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi.
Penurunan impor bahan baku patut diwaspadai karena dapat mengganggu kegiatan industri manufaktur. (Suhariyanto)
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menilai, penurunan impor bahan baku dan barang modal akibat arus modal yang masuk ke industri cukup rendah.
”Dampaknya, industri manufaktur nasional hanya mau memproduksi secara minimalis dan tidak mau mengambil risiko untuk meningkatkan kinerja produksi. Sebab, pelaku industri tidak melihat kenaikan permintaan yang cukup signifikan di level domestik maupun internasional,” tuturnya saat dihubungi, Selasa.
Oleh sebab itu, Shinta berharap arus modal ke sektor industri dalam negeri lebih lancar, baik dalam bentuk stimulus pemodalan dan belanja dari pemerintah maupun aliran dari negara lain yang masuk ke Indonesia karena perubahan iklim usaha dan investasi nasional. Apabila tidak ada perbaikan arus modal, pemulihan ekonomi nasional akan terhambat.
Arus modal ke sektor industri dalam negeri lebih lancar.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, ada peluang relokasi usaha di Indonesia dari sejumlah negara yang tak ingin terlalu bergantung pada China. Akan tetapi, Indonesia terancam kalah bersaing di kawasan Asia Tenggaranya, khususnya oleh Vietnam.
Secara jangka pendek, Fithra menilai, penanganan pandemi Covid-19 menjadi pertimbangan prioritas bagi investor yang hendak merelokasi usaha dan industrinya. Negara dengan penanganan Covid-19 yang baik, yang antara lain terlihat dari penurunan laju kasus terkonfirmasi Covid-19, akan memperoleh kepercayaan dari investor.
Selain itu, tambah Fithra, penurunan impor mesti diatasi untuk menopang aktivitas industri yang tengah bergeliat.