Indonesia dinilai perlu memanfaatkan kondisi penurunan suplai udang dunia untuk mengisi pasar udang internasional. Peluang pasar udang masih terbuka luas.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu berpacu mendorong produksi udang nasional. Tren permintaan udang yang mulai meningkat pada semester I (Januari-Juni) 2020 merupakan peluang untuk memperkuat pasar ekspor.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikutip Senin (17/8/2020), pada semester I-2020, komoditas udang merupakan kontributor utama ekspor perikanan. Volume ekspor udang sebanyak 116.000 ton atau naik 23 persen secara tahunan. Adapun nilai ekspor udang mencapai 954,7 juta dollar AS atau meningkat 23,8 persen secara tahunan.
Berdasarkan nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate per 14 Agustus 2020, nilai ekspor udang itu setara Rp 14,241 triliun.
Direktur Pemasaran KKP Machmud Sutedja, akhir pekan lalu, mengemukakan, permintaan udang dari China dan Amerika Serikat meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Kedua negara itu merupakan pasar utama ekspor udang asal Indonesia.
”Peluang pasar udang masih terbuka,” katanya.
KKP menempatkan pengembangan produksi udang sebagai program prioritas perikanan 2019-2024. Meski begitu, target ekspor udang yang naik 1 miliar dollar AS direvisi. Semula target itu bisa dicapai pada 2021, tetapi diundur menjadi 2024.
Negara-negara tujuan utama ekspor udang ialah Amerika Serikat (65 persen), Jepang (16 persen), dan China (5 persen). Kontribusi ekspor udang asal Indonesia saat ini tak sampai 5 persen dari total pasar dunia.
Menurut data Badan Pusat Statistik, Amerika, China, dan Jepang adalah negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Pada Januari-Juni 2020, ekspor nonmigas Indonesia ke China senilai 12,825 miliar dollar AS atau tumbuh 11,95 persen secara tahunan. Porsi ekspor ke China sekitar 17,71 persen terhadap keseluruhan ekspor nonmigas Indonesia.
Adapun ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada semester I-2020 senilai 8,59 miliar dollar AS dan ke Jepang 6,286 miliar dollar AS.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia Budhi Wibowo mengemukakan, permintaan ekspor udang asal Indonesia cenderung stabil di tengah pandemi Covid-19.
Pada Januari-April 2020 ekspor naik, tetapi pada Mei-Agustus 2020 turun akibat suplai bahan baku merosot.
”Harga jual ekspor cenderung stabil, tetapi harga bahan baku cenderung naik sejak Juni 2020 karena suplai yang berkurang,” katanya.
Penurunan suplai udang, antara lain, disebabkan banyak petambak yang tidak berani menebar benih udang atau benur pada periode April-Mei 2020. Penyebab lain, petambak kesulitan memperoleh benur karena terkendala persoalan transportasi.
Budhi menambahkan, Indonesia harus terus berupaya memacu produksi guna memanfaatkan momentum pasar. Sepanjang suplai normal, tidak ada hambatan pasar ekspor untuk menyerap produk udang sehingga harga bahan baku udang di Indonesia bisa mengikuti harga pasar internasional.
”Kalau suplai berkurang, harga bahan baku akan naik lebih tinggi daripada harga internasional sehingga menyulitkan kita untuk bersaing dengan negara lain,” katanya.
Menikmati
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto mengemukakan, petambak udang vaname tengah menikmati harga udang yang naik. Kenaikan harga udang terjadi pada seluruh ukuran.
Suplai udang yang merosot dari beberapa negara kompetitor, seperti India dan Ekuador, membuka kesempatan lebih luas bagi pasar udang Indonesia.
”Sekarang udang semua ukuran diminati. Kecenderungan harganya naik dan selisih harga setiap level ukuran tidak jauh beda. India dan Ekuador pemicu pasokan udang dunia berkurang, dan butuh waktu setidaknya 6 bulan untuk bangkit lagi,” katanya.
Pada awal Agustus 2020, harga udang vaname ukuran 50 ekor per kilogram (kg) berkisar Rp 75.000-Rp 78.000. Sebelum pandemi Covid-19, harga udang ukuran ini sekitar Rp 65.000 per kg. Sementara harga udang ukuran 100 ekor per kg sekitar Rp 60.000 per kg.
Iwan mengakui produksi udang di Indonesia cenderung naik perlahan, tetapi bisa bertahan dalam kondisi sulit. Upaya meningkatkan produksi memerlukan kerja sama dalam hal teknologi, kecukupan benur yang berkualitas, pakan, dan penanganan penyakit. (LKT)