Solusi Instan ”Omnibus Law”, Awas Senjata Makan Tuan
Meski bisa menarik investor, RUU Cipta Kerja bisa merugikan Indonesia dalam sejumlah aspek, seperti kelestarian sumber daya alam, kesejahteraan dan hak pekerja, serta keamanan dan kesehatan masyarakat luas.

Organisasi internasional yang berkampanye untuk perlindungan lingkungan, Greenpeace, menggelar aksi damai untuk menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020).
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja agar rampung bulan depan. Namun, di tengah investasi yang lesu akibat pandemi, RUU Cipta Kerja dinilai bukan solusi untuk memulihkan ekonomi dalam jangka panjang.
Substansi yang kontroversial dan konteks sosial-politik yang riskan justru bisa menjadikannya senjata makan tuan yang berbalik melemahkan perekonomian dan meruntuhkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia.
Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan segala sendi perekonomian global, tak terkecuali investasi. Arus penanaman modal asing (foreign direct investment) diproyeksikan jatuh lebih dari 30 persen sepanjang 2020, bahkan dalam skenario paling optimistis sekalipun.
Indonesia tidak lepas dari dampak pandemi itu. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada triwulan II-2020 mencatat, realisasi investasi melambat 4,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Dalam periode April-Juni 2020, realisasi investasi tercatat Rp 191,9 triliun, sementara pada April-Juni 2019 nilainya sebesar RP 200,5 triliun.

Presiden Joko Widodo tiba di lokasi sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020).
Pemerintah pun menyusun sejumlah langkah strategis untuk memulihkan perekonomian. Salah satu di antaranya merelaksasi aturan berinvestasi di Indonesia yang diwujudkan lewat pembahasan RUU Cipta Kerja. ”Regulasi yang tumpang tindih, yang merumitkan, yang menjebak semua pihak dalam risiko, harus kita sudahi,” kata Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD, 14 Agustus 2020.
Baca juga : Pembahasan RUU Cipta Kerja Rampung Awal September
RUU yang tengah dibahas pemerintah dan DPR itu pun ditargetkan rampung pada September 2020 meskipun memancing penolakan yang keras dari publik—khususnya kelompok buruh, akademisi, masyarakat adat, pemerhati lingkungan hidup, dan ekonom-ekonom terkemuka.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan, RUU Cipta Kerja tidak akan efektif diterapkan jika dipaksakan disahkan pada tahun ini, di tengah pandemi dan penolakan kuat publik. ”Bukan hanya efektivitasnya rendah, RUU ini juga bisa jadi bumerang, yang malah membawa dampak semakin buruk terhadap perekonomian jika tidak hati-hati disikapi,” katanya, Sabtu (15/8/2020).
RUU Cipta Kerja tidak akan efektif diterapkan jika dipaksakan disahkan pada tahun ini, di tengah pandemi dan penolakan kuat publik.
Faisal mengatakan, konteks sosial-politik saat ini tidak mendukung untuk mengesahkan RUU problematik itu secara terburu-buru. Pandemi Covid-19 bahkan tidak bisa membendung sejumlah elemen masyarakat untuk turun ke jalan dan berulang kali berunjuk rasa. ”Kalau terjadi instabilitas politik di dalam negeri, itu tentu akan membawa kekhawatiran pada investor. Ditambah, pengendalian laju penularan Covid-19 yang juga belum optimal,” ujarnya.

Di tengah ketidakpastian yang dibawa pandemi ini, Faisal mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada upaya pengendalian Covid-19. Itu menjadi faktor utama yang akan membuat investor yakin menanamkan modalnya. Vietnam, misalnya, mampu mengundang investor asing masuk karena kemampuannya menangani gelombang pertama pandemi dengan efektif dan cepat.
Baca juga : RUU Cipta Kerja Bukan Jaminan
Pengendalian Covid-19 yang tidak optimal, ditambah situasi sosial-politik yang panas di dalam negeri, serta resistensi buruh yang notabene adalah penggerak industri, justru bisa membawa bumerang yang memperburuk kondisi perekonomian negara.
”Jadi, ini bukan lagi hanya masalah substansi. Kondisinya sudah kompleks. Substansi bermasalah, ditambah konteks ketidakpercayaan yang kuat dari banyak pihak, risikonya sangat tinggi,” kata Faisal.
Jadi, ini bukan lagi hanya masalah substansi. Kondisinya sudah kompleks. Substansi bermasalah, ditambah konteks ketidakpercayaan yang kuat dari banyak pihak, risikonya sangat tinggi.
Kontradiktif
Tidak hanya dari konteks sosial politik, RUU ini juga mengandung masalah dari segi substansi. Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, secara jangka pendek, jika ditilik dari segi kuantitas atau nilai investasi, RUU tersebut mungkin bisa menjadi solusi instan yang menggiurkan bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Baca juga : RI Gencar Berburu Investasi
Namun, secara jangka panjang, beberapa ketentuan di RUU Cipta Kerja justru kontradiktif dengan tujuan memajukan perekonomian Indonesia di pentas global. Heri mencontohkan, sektor ketenagakerjaan di Indonesia memang perlu dibenahi agar lebih berdaya saing, terampil, dan produktif. Namun, ketentuan dalam kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja justru bertolak belakang dengan cita-cita itu.
Beberapa ketentuan mengenai kontrak kerja, upah, dan pesangon, serta hak-hak buruh, justru berpotensi membuat pekerja semakin tidak sejahtera dan tidak produktif. ”Jangan sampai RUU ini membuat pekerja tidak selera untuk produktif. Saat ini, buruh melihat RUU ini sudah tidak semangat duluan. Artinya, cita-cita mendongkrak produktivitas tenaga kerja pun tidak efektif lewat RUU ini,” tuturnya.

Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berbaris di depan pintu gerbang Kompleks MPR/DPR Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). Agenda utama demonstrasi hari itu adalah untuk menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dan meminta pemerintah untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Di sisi lain, ujarnya, banyak investor tertarik masuk ke Indonesia karena pangsa pasar yang sangat besar dengan jumlah penduduk yang banyak. Ukuran pasar Indonesia yang menarik para investor ini seharusnya diperkuat dengan cara memperkuat daya beli semua lapisan masyarakat agar konsumsinya makin kuat.
Alih-alih demikian, RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pekerja semakin tidak sejahtera dengan pengaturan upah buruh yang lebih murah, ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih mudah (prinsip easy hire easy fire), serta kondisi pekerja yang semakin tidak terlindungi.
Baca juga : Investasi Jangan Abaikan Kepentingan Buruh
Pemerintah kerap menengok Vietnam dengan rasa iri. Negara itu belakangan menjadi negara tujuan utama investor global. Salah satunya karena upah buruh di Vietnam yang lebih rendah daripada Indonesia. BKPM mencatat, upah buruh di Indonesia rata-rata mencapai Rp 3,93 juta per bulan. Sementara upah buruh Vietnam rata-rata hanya Rp 2,64 juta per bulan.
Namun, dengan standar upah rendah itu, kesenjangan sosial menjadi persoalan besar di Vietnam. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat di Vietnam tidak membawa perubahan pada perbaikan kesejahteraan masyarakatnya. Kajian Oxfam, ”Even it Up: How to Tackle Inequality in Vietnam”, pada 2017 menunjukkan, standar upah yang rendah di Vietnam hanya bisa memenuhi 60 persen dari rata-rata kebutuhan hidup sehari-hari di sana.
Heri mengatakan, selain mendongkrak pertumbuhan ekonomi—yang sangat tergantung pada konsumsi masyarakat—kesejahteraan masyarakat juga harus dijamin untuk tetap menjaga daya tarik investor masuk ke Indonesia. ”Ibaratnya, jangan sampai sakitnya apa, dikasih obatnya malah apa, sehingga semakin sakit,” ujar Heri.
Alarm peringatan
Peringatan tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional. Bank Dunia, lewat laporannya, Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery, menyebutkan, meski akan bisa menarik investasi asing, RUU Cipta Kerja bisa merugikan Indonesia dalam sejumlah aspek, seperti pelestarian sumber daya alam, kesejahteraan dan hak pekerja, serta keamanan, serta kesehatan masyarakat luas.
Baca juga : Rakyat di Antara Resesi Ekonomi, Korupsi, dan Janji Jokowi
Relaksasi sejumlah persyaratan investasi, seperti aturan wajib izin lingkungan, dinilai bisa menggerus sumber daya alam dan lingkungan yang krusial untuk kehidupan masyarakat luas. Tidak hanya untuk hajat hidup orang banyak, investasi dan pembangunan yang ekstraktif bisa berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia secara jangka panjang.

Aktivitas alat berat dalam proyek konstruksi pendirian pabrik otomotif di kawasan industri GICC, Desa Sukamukti, Kecamatan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020).
Lebih lanjut, Bank Dunia mengingatkan, persoalan utama yang membuat perizinan investasi rumit di Indonesia adalah birokrasi yang panjang dan perilaku korup para pejabatnya, bukan aturan izin lingkungan yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bank Dunia mengingatkan, persoalan utama yang membuat perizinan investasi rumit di Indonesia adalah birokrasi yang panjang dan perilaku korup para pejabatnya, bukan aturan izin lingkungan.
Beberapa pasal dalam kluster ketenagakerjaan juga dinilai bisa mengurangi perlindungan para pekerja yang bisa memperparah ketimpangan pendapatan di Indonesia. ”Ini khususnya semakin bermasalah saat pengangguran meningkat karena Covid-19,” kata ekonom Bank Dunia Indonesia, Frederico Gil Sander.
Baca juga : RUU Cipta Kerja Tak Mengarah pada Pembangunan Berkelanjutan
Sejalan dengan hal itu, kajian Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada Juni 2020 menyoroti pentingnya mengedepankan investasi yang inklusif, ramah lingkungan, dan berdaya tahan untuk memulihkan ekonomi pasca-Covid-19.
Dalam laporannya, OECD mengakui, dalam kondisi saat ini, pemerintah setiap negara pasti akan menempuh berbagai cara untuk dengan cepat menarik investor asing menanamkan modal di negaranya. Namun, meski membuka pintu lebar-lebar kepada investasi penting, kualitas investasi yang dihasilkan lebih krusial jika ingin mencapai tujuan pembangunan berkelanjuran (sustainable development goals).
Investasi, pada prinsipnya, harus menjadi solusi atas persoalan kesenjangan sosial, kemiskinan, dan krisis lingkungan—bukan justru menjadi penyebab munculnya persoalan-persoalan tersebut.