Pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, tengah berlomba mencari utang untuk menangani pandemi Covid-19 serta mengantisipasi dampak ekonomi yang ditimbulkannya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri pemerintah bertambah seiring penerbitan surat utang global guna mendukung pemulihan ekonomi nasional. Derasnya aliran masuk dana asing ke surat berharga membuat pemerintah perlu mewaspadai kerentanan stabilitas moneter dalam negeri terhadap gejolak eksternal.
Bank Indonesia mencatat posisi utang luar negeri pemerintah pada akhir triwulan II-2020 mencapai 196,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 2.927 triliun, tumbuh 2,1 persen dibandingkan posisi triwulan II-2019. Secara total, utang luar negeri pada triwulan II-2020 sebesar 408,6 miliar dollar AS (Rp 5.843 triliun), tumbuh 5 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas, Jumat (14/8/2020), Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengklaim arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mengindikasikan persepsi yang positif terhadap pengelolaan kebijakan ekonomi makro dalam memitigasi dampak pandemi Covid-19 sekaligus mendorong pemulihan ekonomi.
”Peningkatan utang luar negeri pemerintah terjadi seiring penerbitan sukuk global untuk memenuhi target pembiayaan, termasuk satu seri sukuk hijau yang mendukung pembiayaan perubahan iklim,” ujarnya.
Meski mengalami lonjakan, BI memastikan utang luar negeri pemerintah tetap dikelola secara hati-hati dan akuntabel. Aliran dana asing tersebut akan diserap untuk mendukung belanja prioritas mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 23,5 persen, sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (16,3 persen), sektor jasa keuangan dan asuransi (12,4 persen), serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,7 persen).
Sebelumnya diberitakan, pada pertengahan Juni 2020, pemerintah menerbitkan sukuk global dalam tenor 5 tahun sebesar 750 juta dollar AS, 10 tahun sebesar 1 miliar dollar AS, dan tenor 30 tahun sebesar 750 juta dollar AS. Sementara imbal hasil yang ditawarkan adalah 2,3 persen untuk tenor 5 tahun, 2,8 persen untuk tenor 10 tahun, dan 3,8 persen untuk tenor 30 tahun.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal khawatir jika penarikan utang besar-besaran pemerintah menyebabkan stabilitas moneter Indonesia menjadi lebih rentan terhadap gejolak eksternal.
Investor asing, menurut dia, tidak akan segan-segan melepas kepemilikan obligasi jika prospek ekonomi dalam negeri makin suram. Jika terjadi arus modal keluar dari obligasi pemerintah, permintaan dollar AS akan meningkat dan berujung pada tertekannya nilai tukar rupiah.
”Hal yang perlu disadari dan menjadi catatan adalah sumber utang dari luar negeri juga meningkatkan kerentanan stabilitas moneter,” ujarnya.
Hal yang perlu disadari dan menjadi catatan adalah sumber utang dari luar negeri juga meningkatkan kerentanan stabilitas moneter.
Faisal mengapresiasi langkah pemerintah dalam membuat payung hukum agar BI bisa menyerap SBN di pasar perdana. Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terkait penanganan Covid-19, pemerintah tak perlu repot-repot menjual SBN di pasar reguler dan bisa mendapatkan bunga yang lebih murah.
Namun, pembelian surat utang pemerintah oleh BI bukan tanpa efek samping. Jika pemerintah tidak berhati-hati, hal tersebut bisa memicu inflasi karena rupiah yang digunakan untuk membeli obligasi pemerintah bisa menggenang di dalam negeri dan tidak bisa lari ke mana-mana.
”Rupiah bukan mata uang yang bisa diekspor seperti dollar dan pemerintah perlu hati-hati. Peredaran uang yang lebih besar di masyarakat akan meningkatkan inflasi dan mengganggu kestabilan moneter,” ujarnya.
Sementara itu, dalam sebuah diskusi virtual, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menganggap wajar apabila situasi pandemi Covid-19 membuat banyak negara, termasuk Indonesia, tidak memiliki pilihan lain selain berutang untuk menutup defisit anggaran. Namun, ia mempertanyakan posisi utang Indonesia yang relatif terus meningkat selama lima tahun terakhir.
Ia menuturkan, pada masa Orde Baru, hubungan antara utang dan pertumbuhan lebih jelas karena seluruh utang ke luar negeri hanya digunakan untuk investasi. Sementara pada era pasca-reformasi, utang juga digunakan untuk menutup defisit yang dihasilkan dari pengeluaran negara yang lebih besar dari pendapatan.
”Kenaikan utang luar negeri menjadi tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Ada masalah yang perlu ditelaah lebih lanjut apakah penggunaan utangnya efektif atau tidak,” kata Faisal.