Kalau tidak tepat sasaran, akhirnya diberikan kepada orang yang punya penghasilan lebih, dampaknya pada konsumsi juga tidak efektif. Masyarakat yang punya uang lebih memilih menabung kalau dapat uang tambahan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah karyawan berjalan kaki di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup sementara sejumlah perkantoran di Jakarta setelah ditemukan karyawan yang terpapar Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diingatkan berhati-hati menyalurkan bantuan subsidi gaji kepada pekerja. Bantuan harus disalurkan kepada pekerja dan sektor yang benar-benar membutuhkan. Meski memerlukan waktu dan upaya lebih, verifikasi dan penetapan skala prioritas terhadap sasaran penerima subsidi gaji menjadi penting agar uang negara tidak keluar sia-sia.
Sejauh ini, proses pendataan nomor rekening pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dihimpun tanpa batasan sektor, wilayah, dan skala usaha. Syaratnya, calon penerima harus berstatus peserta pekerja penerima upah (PU) di BPJS Ketenagakerjaan dan aktif mengiur hingga Juni 2020.
Deputi Direktur Hubungan Masyarakat dan Antar-Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja, Kamis (13/8/2020), mengatakan, sudah ada 9 juta nomor rekening pekerja yang terkumpul dari target total 15,7 juta kuota penerima subsidi gaji. Data ini dikumpulkan oleh setiap perusahaan tempat mereka bekerja.
Proses pendataan terus dilakukan meskipun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) mengenai program subsidi gaji belum selesai diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Beberapa ketentuan penting dan mendasar di dalamnya belum disepakati, termasuk terkait sasaran penerima bantuan dan verifikasi data.
”Total ada 600.000 perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan yang sedang dimintai data. Mereka berasal dari semua sektor, tanpa batasan dan tidak ada kuota perusahaan per wilayah,” kata Utoh saat dihubungi di Jakarta.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, data yang dihimpun pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan seharusnya diverifikasi dan diprioritaskan untuk pekerja yang membutuhkan dan sektor yang memang terdampak pandemi.
Jika pendataan tidak teliti dan tanpa skala prioritas, bantuan gaji tambahan bisa saja lari ke pekerja yang masih mampu dan gajinya di atas Rp 5 juta. Tujuan mendorong konsumsi masyarakat tidak akan tercapai.
”Kalau tidak tepat sasaran, akhirnya diberikan kepada orang yang punya penghasilan lebih, dampaknya pada konsumsi juga tidak efektif. Masyarakat yang punya uang lebih memilih menabung kalau dapat uang tambahan. Padahal, kita maunya memperbanyak belanja,” katanya.
Faisal menambahkan, proses verifikasi memang membutuhkan waktu dan usaha yang lebih. Namun, hal itu bukan tidak mungkin dilakukan. Ini justru momentum untuk memperbaiki dari segi pendataan.
Ini justru momentum untuk memperbaiki dari segi pendataan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta agar proses penyaluran bantuan subsidi gaji dilakukan dengan cepat. Ia tidak memungkiri ada potensi penyaluran tidak tepat sasaran. Beberapa perusahaan, misalnya, tidak melaporkan gaji pekerja yang sesungguhnya ke BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, itu hal terpisah yang seharusnya sudah divalidasi oleh BPJS Ketenagakerjaan selaku pengelola jaminan sosial. ”Selama ini, kan, proses verifikasi seharusnya sudah berjalan internal di BPJS Ketenagakerjaan. Sekarang ini kasus khusus sehingga perlu cepat. Kalau masih harus verifikasi lagi, malah programnya tidak jalan, terlalu lama,” katanya.
Menurut Hariyadi, ada beberapa perusahaan yang kondisi arus kasnya sejak sebelum pandemi sudah buruk. Perusahaan seperti ini umumnya tidak mengumumkan gaji pekerja seutuhnya di BPJS Ketenagakerjaan.
”Kasus seperti ini tidak banyak, paling kurang dari 30 persen. Lagi pula, ada banyak pekerja yang saat pandemi ini juga gajinya sudah berkurang, jadi bisa jadi akhirnya tetap di bawah Rp 5 juta,” katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani berpidato dalam seminar nasional ”Strategi Menghadapi Era Pariwisata Baru di DI Yogyakarta Melalui Pengembangan Industri Perhotelan dan Restoran”, Rabu (9/10/2019), di Hotel Sahid, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Hariyadi mengatakan, tujuan utamanya adalah untuk menggerakkan lagi konsumsi rumah tangga dan meloloskan Indonesia dari resesi panjang. Oleh karena itu, tidak perlu dibuat aturan yang terlalu ketat.
Perusahaan yang menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan juga perlu diberi kelonggaran karena situasi finansial banyak perusahaan saat ini sedang terpuruk akibat pandemi.
”Kalau ada aturan perusahaan tidak boleh menunggak, ya sudah, tidak usah ada subsidi gaji. Sektor saya di perhotelan, misalnya, bagaimana mau disuruh mengiur kalau situasi seperti ini?” ujar Hariyadi.
Kalau ada aturan perusahaan tidak boleh menunggak, ya sudah, tidak usah ada subsidi gaji. Sektor saya di perhotelan, misalnya, bagaimana mau disuruh mengiur kalau situasi seperti ini?
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat berpendapat, verifikasi dapat dilakukan dengan mengecek silang data perusahaan dengan data yang dimiliki serikat pekerja. Apalagi, ada banyak pekerja yang tidak didaftarkan perusahaannya ke BPJS Ketenagakerjaan dan ada banyak pula pekerja yang laporan gajinya tidak sesuai kenyataan.
”Pemerintah harus melibatkan serikat pekerja di tingkat perusahaan untuk melakukan pendataan pekerja, termasuk melibatkan dinas tenaga kerja di tingkat daerah,” katanya.