Pembangunan Berkelanjutan ”Kocok Ulang” Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka
Momen pandemi, saat perekonomian melesu, mengingatkan bahwa stimulus pemulihan ekonomi bisa sekaligus diarahkan pada pembangunan yang ramah lingkungan.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
Banyak pihak menyebut pandemi Covid-19 sebagai titik balik atau penanda bagi warga Bumi, khususnya manusia, untuk berubah. Virus SARS-CoV-2 memaksa manusia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca akibat lesunya perekonomian.
Manusia terpaksa membatasi diri dalam bepergian sehingga menekan pelepasan emisi dari sektor transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Warga pun mengurangi konsumsi dan roda produksi industri pun melambat.
Akar masalah pandemi Covid-19, seperti sejumlah wabah zoonosis sebelumnya, yaitu ebola, SARS, dan MERS, berasal dari permasalahan lingkungan. Penyebabnya, perpindahan virus pada satwa liar kepada manusia. Perpindahan atau spillover ini secara langsung ataupun tidak langsung diakibatkan oleh deforestasi yang kian mendekatkan manusia dengan fauna liar.
Deforestasi bagi Indonesia yang masih memiliki hutan tropis luas dengan segala kekayaan hayatinya berpengaruh besar pada pelepasan emisi gas rumah kaca dalam memitigasi perubahan iklim. Perubahan iklim yang menjadi permasalahan global sesungguhnya merupakan tantangan berikut yang jauh lebih besar dan telah lama diingatkan banyak ahli.
Kondisi sekarang saja, ketika pandemi berlangsung, banyak pihak kepayahan akibat pertumbuhan ekonomi terkontraksi tajam. Seperti Indonesia, pada triwulan II-2020 pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen.
Menurut laporan IPCC, kelompok ahli terkait perubahan iklim, pertumbuhan negatif produk domestik bruto (PDB) seperti ini merupakan keniscayaan ketika dunia ”membiarkan” suhu atmosfer global mengalami peningkatan setidaknya 1,5 ataupun 2 derajat celsius saja.
Studi Suphachol Suphachalasai (2009), ekonom Bank Dunia, menunjukkan, perubahan iklim membawa dampak ekonomi langsung pada Indonesia bila tak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Bila hanya mempertimbangkan dampak pasar, yaitu pada sektor agrikultur dan wilayah pesisir, Indonesia kehilangan 1,8 persen PDB atau jauh lebih tinggi daripada kehilangan PDB secara global (0,6 persen).
Bila dampak itu juga mempertimbangkan dampak kesehatan dan kerusakan ekosistem (nonmarket impact), kehilangan menjadi 6 persen dan bertambah menjadi 7 persen jika memperhitungkan dampak bencana yang timbul, seperti banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem. Ini juga jauh lebih tinggi daripada kehilangan PDB global, yaitu 2,2 persen dan 2,6 persen.
Perubahan iklim membawa dampak ekonomi langsung pada Indonesia bila tak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi.
Studi berikutnya, Felix Pretis dan kolega di Universitas Oxford pada 2018, dalam jurnal Philosophical Transactions of The Royal Society, membandingkan dampak pertumbuhan ekonomi dan PDB antara kenaikan suhu 2 derajat celsius dan 1,5 derajat celsius pada banyak negara. Perkiraan sebelum pandemi Covid-19 itu menempatkan Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2 persen.
Ini diperkuat hasil studi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) tahun 2019 yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebelum pandemi mendera. Studi PRK menunjukkan, jika pembangunan dalam skenario ”apa adanya”, pertumbuhan ekonomi cenderung terus turun dan menukik tajam saat mendekati 100 tahun Indonesia merdeka. Sebaliknya, bila PRK diterapkan konsisten memenuhi komitmen Indonesia (NDC) dalam Kesepakatan Paris 2016, akan mendorong pertumbuhan ekonomi 6 persen pada 2030.
Kocok ulang
Studi yang menjadi Kajian Lingkungan Hidup Strategis bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 ini dinilai ideal dan cukup progresif di atas kertas. Namun, perbedaan kebijakan di atas kertas dengan kondisi di lapangan sudah menjadi rahasia umum.
Contohnya, masih ada izin pembukaan akses jalan logistik batubara di konsesi hutan restorasi ekosistem di Sumatera. Pemerintah berdalih pemberian akses itu melipir di batas hutan dan berisiko rendah.
Dari sisi komitmen menjalankan bauran energi terbarukan nasional sebesar 23 persen pada 2025 atau lima tahun mendatang, hingga kini porsi energi terbarukan masih kurang dari 10 persen. Masih terus dibangunnya pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara kian membelenggu Indonesia pada penggunaan energi fosil. Sampai dengan 30 tahun mendatang, Indonesia masih mengonsumsi setidaknya 69 persen energi fosil dalam bauran energi nasional.
Padahal, jika Indonesia dan negara-negara di dunia memenuhi komitmen penurunan emisi (NDC) sesuai dengan Kesepakatan Paris, kenaikan suhu masih mencapai 3,2 derajat celsius. Para ahli perubahan iklim mendorong agar NDC ditingkatkan dan dijalankan hingga lima kali lipat untuk mengerem kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius.
Organisasi Meteorologi Dunia telah mengingatkan, kenaikan rata-rata suhu global kini telah mencapai 1,2 derajat celsius. Momen pandemi, saat perekonomian melesu, mengingatkan bahwa stimulus pemulihan ekonomi bisa sekaligus diarahkan pada pembangunan ramah lingkungan.
Pada berbagai studi, hal ini bisa membawa pada sumber ekonomi baru dan penyediaan lapangan kerja baru. Langkah ”kocok ulang” ekonomi disertai implementasi komitmen dapat menjadi nilai tawar mendapatkan peralihan pembayaran utang luar negeri yang dimanfaatkan bagi upaya-upaya transisi PRK.
Penurunan emisi dalam proses pembangunan yang baru agar terdesain dan dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten. Bukan terpaksa seperti pandemi saat ini.
Mengacu pada studi-studi di atas, memacu pembangunan ekonomi yang basisnya tidak ramah lingkungan akan berakhir seperti menabrak tembok beton, yaitu terdampak perubahan iklim yang sangat merugikan keberlanjutan umat manusia dan Bumi.