Pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas orang dan barang turut berpengaruh pada nasib pengumpul kopi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas orang dan barang turut berpengaruh pada nasib pengumpul kopi. Di tengah ketidakpastian, mereka pun melakukan berbagai cara untuk meminimalisasi kerugian usaha mereka.
Pembahasan ini menguak dalam diskusi virtual bertema ”Peran Pengumpul dalam Prospek Bisnis Kopi Berkelanjutan” yang diselenggarakan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) dengan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), Kamis (13/8/2020).
Mahwida Nur Fitriasani, Coffee Program Officer YIDH, menyebut bahwa pembatasan sosial selama pandemi mengurangi permintaan kopi dari berbagai jalur. Mulai dengan mengurangi akses 26 persen penikmat kopi yang biasa mengonsumsi kopi di luar rumah hingga melemahkan daya beli dan menurunkan standar konsumsi kopi karena penurunan pendapatan.
Studi global International Coffee Organization (ICO) pada April 2020 bahkan mengukur bahwa setiap penurunan 1 persen produk domestik bruto (PDB) global akan menurunkan permintaan kopi 0,95 persen.
”Harga kopi arabika turun 30-40 persen, demikian juga robusta yang turun tetapi tidak terlalu signifikan. Pasokan kopi juga turun walau sedang musim panen, tetapi dari sisi permintaan ada kendala gudang karena enggak semua beroperasi atau ada pembatasan kuantitas penampungan. Ditambah lagi, kendala transportasi karena banyak zona merah yang membuat distribusi terhambat,” katanya.
Di tengah situasi tersebut, pengumpul sebagai pemain dalam rantai pasok komoditas kopi juga ikut terdampak. Akibatnya, mereka melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi kerugian yang mungkin ditimbulkan hambatan bisnis kopi.
”Banyak pengumpul yang mencegah pengurangan pendapatan dengan mendiversifikasi sumber penghasilan, seperti beralih ke tanaman hortikultura yang masa tanamnya lebih cepat. Ada juga yang jadi wirausaha atau pegawai,” katanya.
Pengumpul juga mengurangi risiko pengurangan harga dengan langsung menjual kopi dari petani, yang sebelumnya disimpan lebih lama, agar langsung terjual. Mereka juga menghemat biaya transportasi, antara lain dengan menggunakan moda transportasi yang lebih kecil.
Memburuk
Situasi pandemi disampaikan beberapa pengumpul memperparah kondisi mereka sebelumnya. Hadi Kusuma, pengumpul kopi tingkat desa di Kecamatan Semendo, Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, mengakui peralihan usaha yang dilakukan untuk tetap menghasilkan sudah dilakukan sebelumnya.
”Selama musim kopi, kami ambil kopi dari petani tingkat desa. Di luar itu, kami punya usaha di bidang hortikultura,” kata pengumpul kopi dari 300 petani tersebut saat diundang dalam acara yang sama.
Selain kendala produksi, ia juga mengaku kendala sinyal menyulitkan proses menerima dan menyebarkan informasi, seperti harga kopi. Mereka juga terkendala keterbatasan modal dan transportasi dengan akses jalan yang terbatas di daerah dataran tinggi.
”Sekitar 80 persen masyarakat di kecamatan kami tergantung dengan kopi. Dengan situasi seperti itu, kami ingin pengumpul dan petani bisa kolaborasi dengan swasta dan pemerintah,” tuturnya.
Sabaruddin, pengumpul kopi sejak 2006 dari Kecamatan Pamatang Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, juga mengaku mempunyai masalah yang sama. Pengumpul yang biasa bersentuhan dengan 500 petani ini mengeluhkan kendala pascapanen hingga pendanaan yang juga dikeluhkan petani.
”Harapan kami, harga kopi kembali stabil agar petani lebih semangat meningkatkan kualitas. Kami juga mengharapkan bisa memiliki dukungan fasilitas, seperti lantai jemur, dan sebagainya,” katanya.
Direktur Eksekutif SCOPI Paramita Mentari Kesuma mengatakan, pengumpul menjadi pihak yang perlu dibantu. Pasalnya, pengumpul tidak hanya terlibat dalam jual beli kopi dengan petani, tetapi dukungan lain juga diberikan pengumpul kepada petani, seperti akses terhadap agro-input, akses finansial, dan sebagainya.
”Jika terdapat kolaborasi efektif dan adaptif antara pengumpul, petani kopi, dan aktor lain dalam rantai pasok kopi, khususnya dalam situasi pandemi saat ini, diharapkan dapat menjaga stabilitas pasar kopi Indonesia dan mendorong ekosistem bisnis kopi yang berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut studi YIDH dan Enveritas sejak Oktober 2018 hingga Januari 2020, jumlah pengumpul kopi di Indonesia mencapai lebih dari 4.000 orang, yang fokus pada rantai pasok kopi arabika dan robusta. Peran pengumpul di rantai pasok kopi Indonesia sangat penting karena lebih dari 90 persen hasil kopi dari sekitar 1,34 juta petani dibeli oleh pengumpul.
Pengumpul tidak hanya berperan dalam menyerap produksi petani kopi, tetapi mereka juga banyak memberikan layanan kepada petani berupa pinjaman uang tunai, benih dan pupuk, hingga pelatihan.