Pandemi Covid-19 telah menekan industri pembiayaan (multifinance) sehingga penyaluran kredit ikut babak belur. Pertumbuhan kredit diperkirakan negatif tahun ini karena dampak pandemi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prospek perbaikan ekonomi pada semester II-2020 menjadi momentum bagi industri perusahaan pembiayaan untuk bangkit. Meski begitu, pertumbuhan kredit multifinance tetap akan negatif akibat berhentinya penyaluran pembiayaan baru di periode awal pandemi.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyatakan, sejak kemunculan kasus Covid-19 pertama pada Maret 2020, sebanyak 80 persen anggota APPI menghentikan penyaluran pembiayaan di periode April-Mei 2020.
”Sebanyak 20 persen perusahaan pembiayaan sisanya juga mengalami penurunan volume pembiayaannya. Artinya, pandemi Covid-19 telah menekan hampir semua perusahaan pembiayaan,” ujarnya saat dihubungi Kamis (13/8/2020).
Pandemi Covid-19 telah menekan hampir semua perusahaan pembiayaan.
Suwandi berharap aktivitas bisnis yang pulih secara perlahan menjadi momentum bagi perusahaan pembiayaan untuk kembali menyalurkan pembiayaan baru. Menurut dia, pada periode Juni-Juli 2020, berkisar 30 persen-40 persen anggota APPI telah kembali masuk ke pasar.
Dia menegaskan, industri pembiayaan akan terus membantu denyut perekonomian masyarakat dengan menjaga penyaluran pembiayaan. Ia mencontohkan, melalui kredit kendaraan bermotor, masyarakat dapat tetap memperoleh penghasilan, baik sebagai pengemudi ojek daring maupun lainnya.
Meski berjalannya aktivitas bisnis pada triwulan III-2020 memberikan harapan bagi perusahaan pembiayaan, Suwandi tetap memproyeksikan adanya penurunan volume kredit pada akhir tahun, yakni di kisaran 2 persen hingga 3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
”Meski begitu, teman-teman di industri memiliki pemikiran positif. Cuma ini butuh dukungan dari para pemangku lainnya, utamanya dari perbankan sebagai sumber likuiditas,” ujar Suwandi.
Berdasarkan pantauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga 11 Agustus 2020, realisasi restrukturisasi kredit di perusahaan pembiayaan telah mencapai Rp 150,43 triliun dengan bunga sebesar Rp 38,03 triliun dari sekitar 4,8 juta kontrak pembiayaan.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB 2B) OJK Bambang W Budiawan menyatakan, OJK berencana memperpanjang kebijakan restrukturisasi tidak hanya untuk perbankan, tapi juga untuk perusahaan pembiayaan mengingat ekonomi domestik yang diperkirakan belum akan pulih pada akhir tahun ini.
”Kebijakan restrukturisasi mungkin akan kami perpanjang untuk perbankan dan pembiayaan karena pemulihan ekonomi kita ini akan sangat bergantung pada pemulihan kesehatan masyarakat,” ucapnya.
Bambang menuturkan, langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) secara masif.
Namun, restrukturisasi bukanlah solusi dari permasalahan likuiditas yang juga mengintai perusahaan pembiayaan. Pengetatan likuiditas yang dialami perbankan juga harus membangkitkan kewaspadaan perusahaan pembiayaan untuk mencari alternatif pendanaan lain.
Andalkan SBN
Sementara itu, pada industri dana pensiun, langkah menempatkan dana pada instrumen surat berharga negara (SBN) menjadi penyelamat ekonomi sekaligus penyelamat industri dana pensiun.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi mengatakan, industri membutuhkan instrumen aman yang mampu bertahan melewati gejolak. Dana itu pun dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai motor pertumbuhan ekonomi dan menunjang berbagai kepentingan perekonomian.
”Dana pensiun sebagai investor ikut berinvestasi pada sektor-sektor yang diperkenankan pemerintah sehingga ikut mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Berdasarkan statistik dana pensiun OJK, pada Juni 2020, total aset investasi industri dana pensiun mencapai Rp 182,32 triliun. Dari total investasi itu, penempatan di instrumen SBN tercatat paling dominan, yakni senilai Rp 52,7 triliun atau mencakup 28,93 persen aset investasi.
Bambang menjelaskan, dalam kondisi krisis seperti saat ini, industri dana pensiun terus berupaya menjaga ketenangan para investor agar tidak panik. Salah satu langkah yang ditempuh adalah industri tidak melakukan penebusan portofolio secara besar-besaran.
”ADPI memastikan anggota-anggotanya tetap menjaga likuiditas dana karena pembayaran manfaat harus tetap terjaga meskipun dalam kondisi perekonomian yang sulit,” ujarnya.