Kebutuhan baja untuk industri di dalam negeri dinilai masih sangat besar dan potensial bagi pengembangan industri baja nasional. Para pelaku berharap pemerintah memperketat impor baja agar baja domestik lebih optimal.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/Lasti Kurnia
Kegiatan di pabrik PT Waskita Karya Infrastruktur memproduksi beragam produk fabrikasi baja dengan mesin-mesin computer numerical control (CNC) dan sejumlah alat fabrikasi lain buatan Eropa di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten, Kamis (5/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Potensi industri baja Indonesia masih besar untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sektor maritim adalah salah satu sektor yang membutuhkan baja dalam jumlah besar untuk bahan baku pembuatan kapal. Pemerintah dituntut melindungi industri baja domestik lewat pengetatan impor baja.
Demikian yang mengemuka dalam webinar bertajuk ”Strategi Industri Baja Nasional dalam Mendukung Sektor Kemaritiman dan Logistik Pascapandemi Covid-19”, yang berlangsung Rabu (12/8/2020). Sebagai narasumber adalah Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim, Manajer Komersial PT Dok Pantai Lamongan Romeo Hasan Basri, dan Ketua Supply Chain Indonesia Setijadi.
Silmy mengatakan, konsumsi baja per kapita di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara di ASEAN. Pada 2019, konsumsi baja per kapita di Indonesia 68 kilogram. Dibandingkan dengan Korea Selatan yang industri galangan kapalnya maju, konsumsi baja negara tersebut jauh melampaui Indonesia, yakni 1.093 kilogram.
Dari kapasitas produksi baja dalam negeri yang mencapai 4,9 juta ton per tahun, utilisasinya belum 100 persen. Pasalnya, industri di Indonesia diserbu oleh baja impor. Padahal, kapasitas produksi hot rolled coil masih di atas permintaan tahunan di Indonesia. Sebagai contoh, pada 2019, produksi hot rolled coil 1,37 juta ton, sementara volume permintaan mencapai 2,6 juta ton.
Sejak 2014, neraca perdagangan hot rolled coil Indonesia selalu minus akibat impor yang tinggi.
”Di tahun tersebut, realisasi impor hot rolled coil mencapai 1,45 juta ton. Akibatnya, sejak 2014, neraca perdagangan hot rolled coil Indonesia selalu minus akibat impor yang tinggi,” kata Silmy.
Dari sisi pelaku usaha kemaritiman, kebutuhan baja untuk industri perkapalan masih terbilang tinggi. Romeo mencontohkan ketersediaan tongkang pengangkut batubara di Indonesia yang sangat minim dan masih didominasi kapal-kapal asing. Ketersediaan tongkang nasional hanya mampu mengangkut 5 persen dari total volume ekspor batubara asal Indonesia.
”Indonesia kira-kira masih membutuhkan armada tongkang 540 unit dengan kebutuhan baja per unitnya mencapai 1.300 ton. Dengan demikian, total kebutuhan baja untuk industri pembuatan tongkang mencapai 702.000 ton pelat baja,” kata Romeo.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim
Menurut Romeo, harus ada hubungan yang saling menguntungkan antara produsen baja dan industri kematiriman yang banyak menggunakan bahan baku baja. Apalagi, mutu baja dalam negeri tidak kalah dengan mutu baja impor. Apabila antara produsen baja dan industri penyerap baja bersinergi, Indonesia bisa menjadi negara yang kompetitif di sektor tersebut.
Sementara itu, menurut Setijadi, industri galangan kapal di Indonesia menghadapi sejumlah kendala. Kendala tersebut, antara lain, serbuan impor material pembuatan kapal, komponen kapal yang terlalu banyak variasi sehingga berpengaruh pada keekonomian, dan kontrak yang cenderung pendek membuat galangan kapal sulit mengerjakan pesanan kapal dalam waktu singkat.
”Di Indonesia belum ada standardisasi desain kapal secara nasional. Selain itu, dari sisi infrastruktur, ketersediaan pelabuhan masih terbatas dan sebaran galangan kapal di Indonesia tidak merata. Sebanyak 88 persen galangan kapal ada di wilayah Indonesia bagian barat dan sisanya 22 persen ada di wilayah timur,” ujar Setijadi.
Di masa depan, prospek industri baja dan kemaritiman masih tinggi, mengingat visi Indonesia 2045 memasukkan pembangunan ekonomi maritim sebagai salah satu sektor prioritas. Selain itu, pemerintah berencana menggiatkan pembangunan sejumlah infrastruktur yang merata dan saling terintegrasi.
Di masa depan, prospek industri baja dan kemaritiman masih tinggi, mengingat pada visi Indonesia 2045 memasukkan pembangunan ekonomi maritim sebagai salah satu sektor prioritas.
Industri kemaritiman di Indonesia bisa menjadi unggul jika ada kerja sama erat yang melibatkan tiga pihak, yaitu pemerintah, akademisi, dan industri. Akademisi bisa berperan mendesain kapal, sedangkan pemerintah membantu pembiayaan riset untuk pembuatan desain tersebut. Adapun sektor industri berperan untuk penyediaan bahan baku dan perakitan.
”Sinergi ini akan menguntungkan pemerintah karena aktivitas ekonomi bergairah. Akademisi diuntungkan dengan berkembangnya riset. Sementara industri akan diuntungkan dengan permintaan bahan baku ataupun alat produksi yang meningkat,” kata Silmy.
KOMPAS/Lasti Kurnia
Kegiatan di pabrik PT Waskita Karya Infrastruktur memproduksi beragam produk fabrikasi baja dengan mesin-mesin computer numerical control (CNC) dan sejumlah alat fabrikasi lain buatan Eropa di kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten, Kamis (5/3/2020).