Minuman tradisional, misalnya tuak, sering kali masih mendapat penilaian buruk dari masyarakat karena mengandung alkohol. Padahal, minuman ini muncul sebagai bagian dari adaptasi masyarakat setempat untuk bertahan hidup.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain dikenal sebagai minuman kehormatan yang mengandung kekayaan dan keragaman budaya daerah, minuman tradisional juga berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan daerah. Untuk itu, perlu upaya lebih mengenalkan minuman tradisional pada pasar lokal hingga global.
Peneliti minuman tradisional, Raymond Michael Menot, menyampaikan, minuman tradisional atau minuman tradisional beralkohol Nusantara muncul sebagai bagian adaptasi dalam upaya bertahan hidup bagi kelompok masyarakat yang mendiami wilayah dingin. Minuman ini juga tidak lepas dari berbagai ritual adat tradisional dan ritual agama tertentu.
Pelarangan minuman tradisional beralkohol pun dinilai dapat memicu konflik budaya sosial. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan adalah mendukung regulasi yang ada dan mengoptimalkan pengawasan.
Aturan tentang minuman alkohol diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Adapun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Alkohol.
”Aturan ini sudah ada dan dengan tegas melarang memberikan minuman alkohol pada anak di bawah 16 tahun. Maka, yang perlu dioptimalkan adalah pengawasan bagi yang membeli minuman alkohol itu harus minimal 21 tahun dan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP),” kata Raymond, Selasa (11/8/2020).
Diskusi ini mengemuka dalam Ngobrol Online Antropologi bertajuk ”Minuman Tradisional dalam Perspektif Antropologi”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, dua peneliti minuman tradisional, Nono S A Sumampouw dan Richardus Giring.
Lebih lanjut, kata Raymond, minuman alkohol Nusantara dapat turut mengembangkan pariwisata suatu daerah dengan mengelola produksi minuman tradisional sebagai komoditas pariwisata yang berstandar. Misalnya, dapat dijadikan sebagai buah tangan khas daerah.
Senada dengan itu, Nono S A Sumampouw menyampaikan, minuman tradisional Indonesia sebenarnya berpeluang untuk dijual hingga ke pasar global. Dengan begitu, pendapatan daerah bagi masyarakat pun akan turut meningkat.
”Setiap daerah itu memiliki minuman tradisional yang dapat dilihat tidak hanya sebagai perekat di masyarakat, tetapi bernilai ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Bisa kita lihat soju dari Korea Selatan, minuman lokal yang kemudian memiliki penetrasi global,” kata Nono.
Tantangan
Richardus Giring menyampaikan, minuman tradisional kini dapat dianalogikan sebagai ”rumah yang terbakar”. Sebab, keberadaannya semakin langka sehingga perlu upaya pelestarian.
Masih ada pandangan yang serba minor dan kesan buruk terhadap kebudayaan Dayak, apalagi terhadap minuman tradisional yang memiliki kandungan alkohol.
Para generasi muda Dayak pun tidak menaruh minat pada kebudayaan dan menganggap minuman tradisional sebagai masa lalu. Jika ada pun, minuman tradisional sering kali hanya menjadi pelengkap pada acara khusus, antara lain momentum ritual peralihan dan kebiasaan dalam praktik pertanian.
Pembangunan berorientasi industri berbasis tanah dan hutan juga menjadi ancaman dari minuman tradisional yang berbahan alami. Berkurangnya lahan tentu membuat bahan membuat minuman tradisional turut menurun.
”Keberadaan atau nasib minuman di Kalimantan Barat bergantung pada kebijakan hukum, yang saat ini belum atau tidak mengakomodasi minuman tradisi sebagai bagian dari kebudayaan dan kekhasan lokal. Perlu ada penguatan hak-hak dan pengorganisasian komunitas melalui regulasi,” kata Giring.
Dengan adanya regulasi, hak-hak masyarakat adat pun akan terlindungi. Upaya ini penting diwujudkan, mengingat minuman tradisional dapat berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah.