Lamalera, desa tradisional di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, merupakan destinasi unggulan di Lembata, khususnya dan Provinsi NTT pada umumnya.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS — Lamalera, desa tradisional di Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur merupakan destinasi unggulan di Lembata khususnya dan Provinsi NTT pada umumnya. Desa ini terkenal sampai di mancanegara dengan tradisi menangkap paus secara tradisional, sejak ratusan tahun silam. Tetapi sejumlah infrastruktur pendukung destinasi ini belum ditangani secara optimal.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lembata, Nusa Tenggara Timur, Apol Mayan di Lewoleba, Rabu (12/8/2020) mengatakan, tradisi menangkap paus di Lamalera pada musim tertentu dalam tahun, disebut ”Leva Nuan”, yakni dari Mei-Oktober. Tetapi dalam jenjang waktu di luar Leva Nuan pun nelayan setempat memiliki kesempatan melakukan penangkapan.
”Tahun ini hanya lima ekor paus yang ditangkap nelayan. Periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai 9-12 ekor. Rendahnya penangkapan disebabkan pandemi Covid-19 yang membuat nelayan enggan melaut secara kelompok,” kata Mayan.
Tradisi menangkap paus secara tradisional di Lamalera merupakan destinasi unggulan wisata di Lembata. Tradisi ini dimulai sejak nenek moyang, ratusan bahkan ribuan tahun silam. Paus selalu dimaknai sebagai anugerah, rezeki dari Tuhan, ”Lera Wulan Genato”.
Tahun ini hanya lima ekor paus yang ditangkap nelayan. Periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai 9-12 ekor. Rendahnya penangkapan disebabkan pandemi Covid-19 yang membuat nelayan enggan melaut secara kelompok (Mayan)
Musim Leva Nuan, diawali dengan upacara adat di rumah adat, dilanjutkan dengan ritual adat di batu paus (sebuah batu dari zaman dulu) mirip paus, terletak sekitar 2 km arah utara desa Lamalera, dan misa bersama di pantai Lamalera, 1 Mei. Misa dilanjutkan dengan pemberkatan peledang (perahu) dari 12 suku di Lamalera.
Selain berburu paus di laut, juga ada petugas yang ditempatkan khusus untuk memantau pergerakan paus di laut Lamalera. Jika tampak ada paus, orang itu kemudian berteriak ”baleo”. Nelayan yang sedang menunggu dengan perahu di pantai Lamalera bergerak menuju tempat, paus berada.
Ia membantah perburuan dan penangkapan paus itu sebagai tindakan pembantaian. Para nelayan Lamalera yang melakukan penangkapan paus menurut adat dan tradisi lokal sangat menghargai lingkungan. Paus yang ditangkap hanya jenis jantan yang sudah berusia di atas 100 tahun.
Jika mereka menemukan paus betina, apalagi sedang bunting, wajib dilepaskan sebelum digiring ke pantai Lamalera. Karena itu, sebelum menangkap paus, terlebih dahulu mereka harus memantau, menyelidiki jenis serta ukuran dan kondisi fisik ikan paus. Setiap perahu memiliki satu atau dua nelayan yang memiliki kemampuan mendeteksi paus.
Setelah paus ditangkap dan dibelah, daging dibagi-bagi kepada para fakir miskin, janda, orang sakit, dan penduduk lanjut usia. Daging dan minyak paus juga ditukarkan dengan hasil pertanian yang dibawa warga dari pegunungan, berlangsung di pasar barter Wulandoni, sekitar 3 km dari Lamalera. Satu paus bisa dinikmati sebagian besar warga Lembata, tidak hanya orang Lamalera.
”Sebagai anugerah, semua orang Lembata diberi kesempatan menikmati daging dan minyak paus itu. Ada yang meyakini minyak paus bisa menyembuhkan berbagai penyakit sehingga sering dikonsumsi saat sakit, demikian pula dagingnya,” kata Mayan.
Proses pemotongan dan pembagian paus mengikuti tradisi khusus yang diwariskan nenek moyang. Tidak boleh memotong secara sembarang bagian-bagian paus. Juga tidak boleh ada pihak yang memonopoli daging, minyak, atau tulang paus. Semua itu diatur sesuai prosedur adat, yang diwariskan nenek moyang.
Prosesi unik
Prosesi persiapan, penangkapan, sampai pembagian paus ini sangat unik di kalangan masyarakat Lamalera. Keunikan ini mendorong wisatawan dari dalam dan luar negeri selalu berkunjug ke Lamalera. Bahkan turis-turis asing lebih awal mengunjungi Lamalera, yakni 1920 dibanding turis domestik.
Rata-rata setiap tahun 20.000 lebih turis lokal ke Lamalera, sementara turis mancanegara rata-rata 200 orang. Selain ke Lamalera, mereka juga mengunjungi sejumlah destinasi unggulan Lembata, seperti pantai pasir putih Mingar, bukit cinta Lembata, bukit doa, kuma resor, air terjun lodo falo, dan kopi Boto.
Terdapat sekitar 28 cottage di Lamalera, 8 unit milik masyarakat dan 20 unit bantuan pemda, secara keseluruhan jumlah kamar 50 unit. Namun, cottage-cottage ini belum dilengkapi Wi-Fi. Jaringan telepon seluler pun timbul-tenggelam, lemah sehingga sebagian pengunjung terpaksa mencari-cari sinyal di sejumlah titik.
”Pemkab sudah meminta Telkomsel memperkuat jaringan di Lamalera. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa teratasi,” ujarnya.
Anggota DPRD Lembata, Yosep Boli, mengatakan, akses jalan dari Lewoleba menuju Lamalera pun masih buruk, terutama 18 kilometer tersisa. Itu masih berupa jalan tanah, batu-batuan, dan berlubang-lubang sehingga sangat mengganggu perjalanan. Panjang jalan dari Lewoleba-Lamalera 60 km, 42 km sudah dibangun hotmiks.
”Idealnya ruas jalan itu sudah dibangun tetapi karena kepentingan politik, jalan itu berlarut-larut ditangani. Kepala daerah yang terpilih selalu melihat berapa dukungan suara dari wilayah selatan Lembata. Ini menjadi kendala dalam pembangunan di kabupaten ini,” ujarnya.