Mengenali Perubahan Kebutuhan Konsumen Jadi Kunci Bertahan di Masa Pandemi
Sektor makanan dan minuman dinilai memiliki potensi dan peluang untuk tetap tumbuh di tengah pandemi Covid-19. Strategi pun perlu disusun untuk mempertahankan usaha dengan menyesuaikan kebutuhan konsumen.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski kinerja sektor makanan dan minuman melemah akibat pandemi Covid-19, bisnis pelaku usaha tetap bisa bertahan, bahkan tumbuh, sepanjang pelaku usaha mampu mengenali perubahan perilaku dan kebutuhan konsumen pada masa pandemi. Salah satunya, tren pembelian makanan dan minuman secara dalam jaringan (daring).
Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan industri makanan dan minuman melambat dari 3,94 persen pada triwulan I-2020 menjadi 0,22 persen pada triwulan II-2020. Meski melambat dibandingkan tahun lalu, angka tersebut lebih tinggi dari laju pertumbuhan industri nonmigas secara keseluruhan yang terkontraksi 5,74 persen.
Berdasarkan nilai indeks manufaktur atau Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia (PMI-BI), industri makanan dan minuman tercatat mencapai 35,3 persen pada triwulan II-2020. Angka PMI-BI pada industri ini diperkirakan meningkat pada triwulan berikutnya hingga 48,42 persen.
Sebagai catatan, PMI-BI merupakan indikator yang menyediakan gambaran umum mengenai kondisi industri di Indonesia dan memperkirakan kinerja triwulan yang akan datang. PMI-BI triwulan II-2020 dihitung dari 698 responden di sektor industri pengolahan.
Asisten Deputi Bidang Industri dan Jasa Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Ari Anindya Hartika, menyampaikan, meski terdampak Covid-19, sektor makanan dan minuman mampu bertahan. Sebab, manusia tetap membutuhkan makanan dan sekarang yang dicari adalah makanan sehat.
Kondisi yang perlu dicermati, kata Ari, adalah perubahan perilaku konsumen yang beralih ke pembelian secara dalam jaringan (daring). Keadaan ini merupakan peluang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk menjangkau konsumen yang berbelanja di rumah.
”Data terakhir yang kami catat, ada penambahan sekitar 800.000 sampai 1 juta UMKM yang masuk digital dari awalnya 13 persen atau 8 juta UMKM. Kami akan terus mendorong pelaku usaha untuk go digital dengan target 10 juta UMKM di akhir tahun,” kata Ari, Rabu (12/8/2020).
Paparan ini dibahas dalam Webinar ”Membaca Tren Makanan Minuman, Consumer Insight dan Strategi Digital Marketing”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Chief Marketing Officer NUEFA Digital Campus Masrizal Umar; Manajer Rantai Pasok PT Yummy Food Utama Muhammad Chaerul Imam; dan Managing Director Qasa Strategic Consulting Joko Wiyono.
Masrizal Umar menyarankan, pelaku usaha yang akan masuk ke pasar digital lebih baik berjualan dengan platform e-dagang dibandingkan harus membangun toko daring melalui laman internet. Sebab, ekosistem penjualan di e-dagang sudah terbentuk.
”Analoginya, daripada membangun ruko (rumah dan toko) lebih baik menyewa tempat di lokasi strategis. Begitu pun dengan pasar digital, di platform e-dagang itu sudah ramai jadi konsumen akan lebih cepat mengenali produk kita,” kata Masrizal.
Tantangannya di e-dagang, konsumen akan membandingkan produk kita dengan produk serupa lainnya, mulai dari kualitas hingga harga. Untuk itu, membangun hubungan baik dengan konsumen menjadi salah satu kunci mengembangkan usaha.
Susun strategi
Joko Wiyono menyampaikan, untuk mengurangi risiko kegagalan dan meningkatkan probabilitas keberhasilan, pelaku usaha perlu memahami consumer insight atau wawasan konsumen. Mulai dari perilaku, persepsi, hingga apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan bagi konsumen.
”Misalnya, mau berjualan kopi, maka kita perlu tahu apa yang menjadi motivasi orang-orang membeli kopi. Informasi (insight) tersebut kita kumpulkan, olah, analisis, dan yang terpenting bisa ditindaklanjuti menjadi aksi nyata,” ujarnya.
Kebutuhan konsumen, kata Joko, menjadi dasar untuk memahami consumer insight. Untuk itu, produk yang ditawarkan setidaknya harus mengandung tiga hal, antara lain fungsi produk, emosi yang timbul ketika menggunakan produk, dan moral atau rasa bangga bisa menjadi bagian dari suatu gerakan ketika memakai produk tersebut.
Muhammad Chaerul Imam menyampaikan, pelaku usaha juga perlu melihat tren dari konsumen sebelum memutuskan berjualan. Saat ini, dalam berjualan makanan tidak cukup dengan rasa enak tetapi perlu menghadirkan sisi virtual yang menarik.
”Produk kita sekarang harus ’Instagramable’ sehingga menarik untuk dibagikan oleh konsumen kepada calon konsumen yang lebih luas. Perlu juga ada emosi yang menyentuh konsumen sehingga dapat menjadi penentu tren,” kata Imam.