Tren global menyerukan transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan yang ramah lingkungan. Indonesia, sebagai negara yang berlimpah sumber energi terbarukan, tampaknya masih sulit lepas diri dari belenggu fosil.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Tahun ini adalah tahun ke-75 Indonesia merdeka sebagai sebuah negara. Merdeka dari kolonialisme. Namun, bisakah Indonesia merdeka dari energi fosil? Jawabannya, sampai saat ini, jelas tidak. Sampai dengan 30 tahun mendatang atau pada 2050, Indonesia masih perlu setidaknya 69 persen energi fosil dalam bauran energi nasional.
Tren dunia saat ini, energi terbarukan menjadi pionir di segala sektor. Seruan global untuk mengurangi penggunaan energi fosil yang dianggap kotor kian kencang. Mengacu pada Perjanjian Paris 2015, yang juga diratifikasi Indonesia, disepakati, Indonesia berkomitmen mencegah kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat celsius. Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dengan usaha sendiri setidaknya 29 persen pada 2030 atau 41 persen dengan dukungan dunia internasional.
Dalam waktu dekat, pada 2025, bauran energi terbarukan di Indonesia sedikitnya 23 persen yang meningkat menjadi 31 persen pada 2050. Kenyataannya, saat ini porsi energi terbarukan masih kurang dari 10 persen dalam bauran energi nasional. Target-target tersebut adalah komitmen Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Lebih rinci, selain bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025, penggunaan batubara ditargetkan sebesar 30 persen, minyak bumi 25 persen, dan gas 22 persen. Setelah peran energi terbarukan ditingkatkan menjadi 31 persen pada 2050, peran batubara diturunkan menjadi 25 persen, minyak bumi 20 persen, dan gas 24 persen. Jelas, sumber energi fosil masih akan sangat dominan di tahun-tahun mendatang dalam bauran energi nasional di Indonesia.
Kenyataannya, saat ini porsi energi terbarukan masih kurang dari 10 persen dalam bauran energi nasional.
Indonesia bukannya tak sanggup mendorong penggunaan energi terbarukan lebih masif. Namun, perencanaan penggunaan energi di Indonesia masih berbasis fosil, khususnya batubara. Kendati cadangan batubara Indonesia tak sampai 5 persen dari total cadangan batubara dunia, Indonesia termasuk negara pengekspor terbesar batubara di dunia.
Mengapa demikian? Sederhana, Indonesia perlu mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya. Batubara, bersama minyak kelapa sawit mentah (CPO), adalah komoditas andalan untuk meraup devisa. Komoditas batubara, ibaratnya, tinggal gali dan jual. Bahkan, target produksi batubara dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional 2014-2019 yang seharusnya maksimal 400 juta ton terpaksa dilanggar dengan realisasi 610 juta ton pada 2019. Lagi-lagi, pangkalnya pada kebutuhan devisa.
Selain itu, paradigma pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih berbasis barang dagangan alias komoditas, bukan sebagai modal untuk menumbuhkan industri dan perekonomian di dalam negeri. Sudah berpuluh tahun komoditas mineral mentah diekspor tanpa diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Baru-baru ini saja ada kebijakan melarang ekspor mineral mentah untuk diolah dan dimurnikan di dalam negeri kendati masih perlu dibuktikan efektivitasnya dalam beberapa tahun mendatang.
Soal kesanggupan mendorong energi terbarukan lebih masif, Indonesia sudah punya modal. Modal itu berupa sumber energi terbarukan di dalam negeri yang melimpah. Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai ”Timur Tengah”-nya energi terbarukan. Segala jenis sumber energi terbarukan ada di negeri ini.
Data pemerintah menyebutkan, potensi tenaga hidro di Indonesia sebanyak 75.000 megawatt (MW). Ada juga panas bumi 25.400 MW, tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, dan tenaga surya dari pancaran matahari bisa 207.800 MW. Belum lagi potensi jenis sumber energi terbarukan yang lain, misalnya tenaga gelombang atau arus laut, bahkan sampah yang bisa diolah menjadi energi listrik.
Lantaran perencanaan energinya berbasis fosil, tak mudah bagi Indonesia untuk bertransisi meninggalkan energi fosil menuju energi terbarukan. Akan ada dampak yang luar biasa dari sisi investasi ataupun keuangan badan usaha, khususnya PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai satu-satunya penyedia tenaga listrik di Indonesia. Peran batubara dalam bauran energi permbangkit listrik sejauh ini masih 64 persen.
Lagi pula, seandainya semua beralih ke energi terbarukan dengan cepat, bagaimana nasib pembangkit listrik yang membakar batubara? Bagaimana masa depan pembangkit dalam megaproyek 35.000 MW? Apa dampaknya bagi keuangan PLN? Seperti apa tanggung jawab pemerintah nanti? Hal-hal inilah yang perlu dipikirkan dan diantisipasi.
Kajian Institute for Essential Services Reform menyebutkan, dalam sepuluh tahun mendatang, harga energi terbarukan bakal lebih murah dari energi yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Fenomena ini sudah terjadi, yakni harga listrik tenaga surya jauh lebih rendah ketimbang listrik tenaga uap yang membakar batubara. Akan ada potensi aset PLN yang terabaikan alias menganggur lantaran kalah bersaing dengan energi terbarukan.
Jadi, masih banyak pertanyaan untuk menjawab pertanyaan soal kemerdekaan dari energi fosil.