Realisasi Dana Kesehatan Baru 8,15 Persen dan Korporasi 0 Persen
Penyerapan anggaran terkendala proses birokrasi. Beberapa program memiliki persyaratan berlapis dan kompleks sehingga eksekusinya sulit.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan keterangan kepada wartawan seusai mengikuti sidang lanjutan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/5/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya mempercepat realisasi dana penanganan Covid-19 di bidang kesehatan dan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Saat ini, anggaran dana untuk kesehatan baru terserap 14,4 persen dan masih ada yang sama sekali belum terserap, yaitu pembiayaan korporasi.
Pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai total Rp 695,2 triliun. Per 6 Agustus 2020, anggaran bidang kesehatan terealisasi Rp 7,14 triliun atau 8,15 persen dari pagu Rp 87,55 triliun.
Sementara dana perlindungan sosial terealisasi Rp 86,45 triliun (42,4 persen), sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 8,6 persen (8,1 persen), dukungan UMKM Rp 32,5 triliun (26,3 persen), dan insentif usaha Rp 16,6 triliun (13,8 persen). Pembiayaan korporasi satu-satunya program yang realisasinya masih 0 persen dari pagu Rp 53,57 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (10/8/2020), mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi penyerapan anggaran PEN relatif lambat. Sebagian anggaran Rp 226,1 triliun atau 32,5 persen belum memiliki daftar isian pelaksana anggaran (DIPA) karena kementerian/lembaga masih memfinalisasi beberapa program stimulus baru.
Selain persoalan DIPA, penyerapan anggaran juga terkendala proses birokrasi. Beberapa program memiliki persyaratan berlapis dan kompleks sehingga eksekusinya sulit. Misalnya, dalam proses verifikasi untuk pembayaran insentif dan pembayaran santunan kematian tenaga medis. Evaluasi dilakukan dengan menyimplifikasi prosedur birokrasi.
Penyerapan anggaran PEN di bidang kesehatan, kata Sri Mulyani, juga relatif lambat. Rinciannya meliputi insentif kesehatan tenaga medis di pusat dan daerah Rp 1,8 triliun, santunan kematian untuk 54 tenaga medis Rp 16,2 triliun, gugus tugas Covid-19 Rp 3,2 triliun, serta insentif bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) alat kesehatan Rp 2,1 triliun.
”Untuk mempercepat serapan anggaran, pemerintah akan menggeser beberapa program (dengan) memanfaatkan dana yang belum ada usulan penggunaannya,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Untuk mempercepat serapan anggaran, pemerintah akan menggeser beberapa program (dengan) memanfaatkan dana yang belum ada usulan penggunaannya.

Menurut Sri Mulyani, pergeseran dilakukan terhadap sejumlah program yang dinilai terlalu kompleks dan sulit diimplementasikan. Usulan mekanisme dan skema program PEN baru disampaikan tiap-tiap kementerian/lembaga. Namun, program diarahkan untuk memperbesar perlindungan sosial dan bantuan usaha.
Program PEN usulan baru akan mempercepat penyerapan anggaran dengan syarat memiliki data valid, infrastruktur tersedia, dan tidak banyak mengubah regulasi. Usulan program baru ini, seperti subsidi gaji bagi tenaga kerja terdampak Covid-19 dari data peserta BPJS Kesehatan dan bantuan tunai untuk penerima Kartu Sembako di luar Program Keluarga Harapan (PKH).
”Program PEN usulan baru yang tidak didukung data yang valid berpotensi kurang efektif karena penyerapan butuh waktu lama,” katanya.
Baca juga: Jaga Komitmen Baru Pemulihan
Sri Mulyani menekankan, kinerja triwulan III-2020 menjadi kunci agar terhindar dari resesi ekonomi. Belanja pemerintah harus dioptimalkan untuk menstimulasi roda ekonomi dengan fokus pada tiga pilar, yaitu mengakselerasi eksekusi program PEN, memperkuat konsumsi pemerintah, dan mendorong konsumsi masyarakat.
Konsumsi masyarakat didorong melalui pembayaran gaji dan pensiunan ke-13 untuk semua pelaksana dan pejabat eselon I-IV serta peluncuran sejumlah program PEN baru. Stimulus dari belanja pemerintah diproyeksikan memperbaiki pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi 0 persen pada triwulan III-2020.
”Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi progres penanganan Covid-19. Kepercayaan masyarakat harus ditumbuhkan untuk kembali berbelanja dan beraktivitas di luar rumah,” kata Sri Mulyani.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi progres penanganan Covid-19. Kepercayaan masyarakat harus ditumbuhkan untuk kembali berbelanja dan beraktivitas di luar rumah.

Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2020 masih akan tertahan jika penyebaran dan pertambahan kasus baru terus meningkat. Masyarakat tetap menahan konsumsi karena merasa tidak aman untuk berbelanja dan beraktivitas di luar rumah.
Langkah pemerintah merelaksasi kebijakan dan memperluas bantuan langsung tunai sudah tepat. Namun, pertanyaan berikutnya, apakah stimulus tunai yang diberikan pemerintah ke kelompok kelas menengah bawah akan ditabung atau dibelanjakan. Preferensi mereka untuk berbelanja sangat ditentukan oleh progres penanganan Covid-19.
”Yang punya daya beli adalah kelas menengah, tetapi terkunci. Kalau konsumsi mereka bergerak, roda perekonomian akan berputar,” kata Ari.
Baca juga: Pemerintah Benahi Strategi Hadapi Pandemi
Pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia tumbuh negatif 5,32 persen. Kontraksi ekonomi dipengaruhi penurunan konsumsi rumah tangga yang cukup tajam, minus 5,51 persen. Kontribusi konsumsi rumah tangga hampir 60 persen PDB nasional sehingga pembayaran gaji dan pensiun ke-13 diharapkan mampu menstimulasi daya beli.
Kontribusi pengeluaran 20 persen rumah tangga kelas atas mendominasi sekitar 45 persen, sementara kontribusi 40 persen kelas menengah berkontribusi 36-37 persen. Adapun kontribusi pengeluaran 40 persen kelompok rumah tangga kelas bawah hanya berkisar 17-18 persen.

Restrukturisasi kredit
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan perkembangan program restrukturisasi kredit hingga 20 Juli 2020 telah mencapai Rp 784,36 triliun dengan menyasar 6,73 juta nasabah, baik individu maupun perusahaan. Adapun hingga akhir tahun, potensi penyaluran restrukturisasi dari 102 bank mampu mencapai Rp 1.379,4 triliun yang disalurkan kepada 15,22 juta nasabah.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso merinci, restrukturisasi yang disalurkan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga 20 Juli 2020 sebesar Rp 330,27 triliun untuk 5,38 juta nasabah. Adapun pada periode yang sama, restrukturisasi untuk segmen non-UMKM sebesar Rp 454,09 triliun untuk 1,34 juta nasabah.
Total restrukturisasi telah mencapai 25-30 persen dari total outstanding kredit. Jumlah restrukturisasi kredit pada periode Juni-Juli cenderung menurun karena telah melewati masa krisis pada April-Mei.
”Proses restrukturisasi ini bisa dilakukan dengan macam-macam langkah bergantung pada kebijakan bank menyesuaikan dengan kondisi nasabahnya. Beberapa kebijakan restrukturisasi yang dilakukan dapat berupa penundaan pembayaran bunga atau penundaan pembayaran pokok dengan periode enam bulan hingga satu tahun,” ujarnya dalam telekonferensi pers.
Restrukturisasi ini merupakan bagian dari Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Kontra Siklus Dampak Penyebaran Covid-19. Dalam POJK ini disebutkan, bank dan lembaga keuangan lain bisa memberikan restrukturisasi bagi nasabahnya yang terdampak Covid-19.
POJK ini akan berlaku hingga Februari tahun depan. Namun, lanjut Wimboh, OJK membuka peluang untuk melakukan perpanjangan penerapan kebijakan ini untuk memastikan sektor riil dan perbankan benar-benar bisa bangkit kembali setelah terdampak pandemi.

Ketua Dewan Komisioner Otiroitas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memberikan keterangan kepada wartawan seusai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). Pertemuan tersebut terkait dengan penanganan dampak virus Covid-19 pada sektor ekonomi.
Sebelum membuat keputusan untuk memperpanjang periode restrukturisasi kredit, regulator akan melihat kinerja dari insentif yang digulirkan pemerintah, salah satunya program penjaminan untuk UMKM dan korporasi.
”Perpanjangan paling lama satu tahun, tapi tiap-tiap nasabah enggak bisa sama, bergantung pada kondisi, bahkan ada nasabah yang bilang enggak usah perpanjang, ya, boleh saja. Tapi, diberikan ruang paling lama satu tahun,” ujar Wimboh.
Baca juga: Jika Diperlukan, Restrukturisasi Kredit Bisa Diperpanjang
Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang terdiri dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, sampai pertengahan Juli 2020 telah menyalurkan kredit modal kerja Rp 36 triliun dari penempatan dana pemerintah. Berdasarkan komitmen perbankan, penyaluran kredit modal kerja dapat mencapai Rp 90 triliun hingga Oktober 2020.
Wimboh memperkirakan, korporasi membutuhkan kredit modal kerja sekitar Rp 81 triliun pada 2021. Sementara untuk tahun ini, korporasi diperkirakan membutuhkan modal kerja Rp 50 triliun agar bisa bangkit dan bertahan menghadapi pandemi.
Ia juga mengapresiasi langkah pemerintah memberikan insentif berupa penjaminan kredit modal kerja bagi korporasi padat karya non-UMKM dan non-BUMN yang penjaminannya dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan PT Penjaminan Infrastuktur Indonesia (PII).
Anggaran untuk penjaminan kredit modal kerja bagi korporasi padat karya non-UMKM dan non-BUMN tersebut sebesar Rp 100 triliun hingga 2021. Pemerintah akan menjamin kredit korporasi prioritas sebesar 80 persen, kemudian 20 persen sisanya dijamin oleh perbankan.
Sementara bagi korporasi yang tidak masuk dalam prioritas, pemerintah akan menjamin kreditnya sebesar 60 persen, kemudian 40 persen sisanya akan menjadi tanggung jawab perbankan.